Orang Australia sering banget minta maaf.
Sebagai orang Indonesia saya terkejut. Bukannya saya mau bilang bahwa orang Indonesia itu jarang minta maaf, tapi serius deh, orang Ostrali betul-betul mengucapkan sorry untuk banyak hal. Dari salah yang betul-betul salah (apalah) kayak gak sengaja nubruk orang pake troli belanja di supermarket, sampe salah-salah yang sebetulnya gak bisa dibilang salah juga, rasanya gak afdol kalo gak bilang "Sorry". Bahkan, seandainya ada orang yang mau lewat terus bilang excuse me, kita juga wajib jawab itu pake "oh, sorry". Saya udah denger banyak banget sorry di semua tempat. Dari pelanggan restoran yang minta diambilin kecap asin sampe kasir supermarket berwajah Asia+bule yang gak sengaja melihat pricetag jaket saya yang belum dicopot (ngggggg.....)
Yang unik dari sebuah sorry mungkin bukan sorry nya, tapi responnya. Sebagaimana keunikan down under lainnya, cara orang menjawab sorry di sini beda sekali sama apa yang sudah kita pelajari di sekolah/kampus/buku/televisi.
It's fine
It's ok
It's alright
Don't worry about that
Tapi bukan: bukan itu semua.
Di sini mereka akan menjawab "No, you're right".
Awalnya saya pikir mereka ngomong "You're alright" sebagaimana cara orang Inggris merespon permintaan maaf (coba baca ini). Eh tapi setelah saya dengarkan dengan seksama (gak cuman dengerin sih, saya kan bolot. Saya juga baca artikel ini), ternyata emang bener you're right. Entah yang ngomong gak bener-bener salah atau emang guilty AF, jawaban umum untuk sebuah kata maaf adalah "you're right".
Saya juga denger beberapa variasi sih, sebangsa "don't worry" atau "nah, it's fine", tapi itu jaraaang banget. Malah mungkin cuman dua variasi itu yang saya denger sejauh ini. Mana dua-duanya diucapkan oleh teman saya yang orang Tiongkok dan bahasa Inggris bukanlah bahasa ibu mereka. Jadi ya gitu deh, lama-lama saya jadi ikut-ikutan juga ngomong you're right kalo dimintain maaf sama orang.
Mungkin agak aneh ya bagi kita untuk mendengar bahwa ucapan minta maaf direspon dengan "Ah gak kok, kamu bener." Di mana-mana kalo ada yang minta maaf ya direstui permintaan maafnya hehehe. Tapi ya siapalah kita untuk menilai? Semua bahasa emang bersifat suka-suka aja. Lagipula, bahasa Inggris bukan bahasa pertama kita juga, ngapain juga kan kita mengkritisi cara penuturnya berbicara. Ibaratnya nih, masa kita mau dibilang aneh sama bule gara-gara kalo ada yang bilang "terima kasih", respon kita cuman diem cengar-cengir? (true story, sering terjadi kalo saya bilang makasih ke embak-embak kasir tempat makan di Malang).
Lah makin panjang dan gak jelas aja ya pos ini. Oh.. I'm sorry for this.
(No, you're right)
Monday, September 28, 2015
Monday, September 21, 2015
Menikah Tanpa Resepsi
Baca juga dalam serial nikahan ini:
Cerita Tentang Seserahan
Cerita Tentang Mahar
Biaya Menikah Tanpa Resepsi
D I E D I T P A D A 1 M E I 2 0 1 6:
Gak nyangka ternyata pos ini sudah dibaca ribuan kali sejak pertama ditulis pada bulan September tahun lalu. Entah kenapa, ternyata cukup banyak orang yang memasukkan kata kunci "menikah tanpa resepsi" dan sejenisnya di Google dan akhirnya terjebak di blog ini :) Pos ini sebetulnya cuman bertujuan sebagai klarifikasi berkedok iseng karena waktu itu saya dan suami saya menikah pada 14 April 2015 di Malang dan lusanya kami sudah makan siang di Perth. Beberapa minggu setelahnya ibu saya menghubungi saya dengan gemes-gemes geram karena beberapa orang kenalannya dengan frontal maupun pake kode mengira pernikahan kami yang (bagi mereka) seperti tergesa-gesa dilatarbelakangi adanya KECELAKAAN yang mengharuskan saya SEMBUNYI dari khalayak ramai dengan modus seolah-olah saya sedang ada di luar negeri. Bahkan baru beberapa belas minggu kami menikah, ibu saya sudah ditodong pertanyaan "Tia udah lahiran?"
Tergesa-gesa? Ih itu lucu banget karena siapapun yang kenal kami cukup dekat pasti tahu bahwa setahun sebelumnya, kami sudah pasang pengumuman lisan di seantero benua bahwa kami akan menikah di tahun 2015. Yang gak tahu ya karena berarti gak cukup dekat aja kenalnya :)
Baca juga
1. Tips Liburan Murah ke Bali bagian 1
2. Tips Liburan Murah ke Bali bagian 2
3. Tips Liburan Murah ke Bali bagian 3
4. Tips Liburan Murah ke Bali bagian 4
5. Tips Liburan Murah ke Bali bagian 5
Kami nggak marah karena wajar manusia menyukai sensasi, apalagi kalo sensasinya jelek kayak anak orang gak ada angin, gak ada ujan taunya MBA. Apalagi kemudian ilang beberapa waktu alasannya pergi ke luar negeri. Emang agak susah dipercaya sih ya. Tapi, maaf ya kalo saya bikin para biang gosip kecewa, cuman saya nggak nikah karena ada apa-apa duluan kok. Sampe detik ini di setahun pernikahan saya belum juga hamil malah :)
Bagi saya pernikahan begitu membahagiakan hingga saya merasa tidak perlu menundanya begitu kandidat telah datang dan sudah sama-sama bersedia berkomitmen. Selepas lulus kuliah, S pun pergi merantau lalu memutuskan untuk melamar saya. Ayah ibu saya pun baik-baik saja dengan ide ini. Mereka sebagaimana orang tua lain yang anaknya akan segera menikah, justru lebih berkonsentrasi memikirkan hal-hal seremonial yang jamak menjadi tetek bengek perkawinan. "Gimana nanti resepsimu?" "Aku perlu siap uang berapa?" "Kamu mau di gedung anu gak, soale aku dapat diskon?" ---adalah segelintir pertanyaan yang diajukan ayah saya ketika omongan tentang perkawinan mulai santer terdengar di rumah.
Saya adalah anak perempuan sulung. Mudah bagi saya untuk berempati pada kedua orang tua saya yang merasa punya kewajiban untuk menikahkan anak sulungnya dengan layak --dan dengan layak yang dimaksud tampaknya adalah menyelenggarakan pernikahan yang pantas dalam skala mereka sebagaimana orang memandang (whatever it means). Tapi, bagaikan ucapan Shakespeare dalam Hamlet, saya banyak meragukan hal-hal di sekitar saya. Perlukah saya menikah dengan resepsi mahadaya? Perlukah kami mengundang orang berpesta sementara saya dan S pun masih tertatih menapaki jalan baru yang kali ini hanya kami berdua pelakunya? Lebih-lebih saat itu, S hanya punya 3 hari untuk kembali ke Malang sehingga semua waktu persiapan menjadi sangat mepet untuk mengorganisasi resepsi besar. Di lain sisi, saya pun sebagaimana gadis-gadis 90an produk Disney, barang tentu punya bayangan akan pernikahan impian di mana saya memakai baju putih panjang bertabur kristal di suatu gedung megah sambil memutar lagu Beautiful in White. Ibu saya sudah lama mengumpulkan kartu-kartu undangan yang diperolehnya, kalau-kalau nanti kami tertarik pada salah satu desainnya. Ayah saya apalagi, akhir-akhir itu bekerja sangat keras dan entah main-main atau serius, sering sekali mengatakan "untuk nambah-nambah uang resepsimu"
Tapi sungguh saya dan S memang kadang suka keterlaluan dalam mendobrak batas. Saya tidak anjurkan hal ini untuk dilakukan semua orang --cukup saya dan orang-orang yang setuju saja yang melakukannya. Bukan hanya saya bersedia pasang badan untuk berargumen dengan ibu serta nenek-nenek saya perihal penolakan keras saya untuk menikah "dengan tanggal yang baik" (masih ada gak sih yang percaya gituan di tahun 2016 ini?), saya juga berusaha meyakinkan orangtua saya bahwa, 'ayolaaah...buat apa sih kita diperbudak terus sama tradisi? Sekali-kali perlu kita paksa tradisi untuk manut pada logika kita'.
Percayalah, tidak selalu mudah untuk membuat orangtua kita setuju pada tindakan se-abnormal itu. Mungkin saya perempuan pertama dalam keluarga besar kami yang pernah punya ide sebandel itu. Tapi saya sangat mengapresiasi bagaimana orangtua saya lalu membuka pikiran lebar-lebar dan bersedia menampung usul saya yang tidak umum itu.
Melihat ayah saya di ambang setuju di detik-detik terakhir, banyak kemudian orang yang lalu me-negasi pemikiran kami. Yang dijadikan argumen tentu saja posisi ayah saya yang saat ini sedang bagus (whatever it means) dan bahwa saya meletakkan ayah saya di tempat yang buruk dengan memaksanya mengadakan pernikahan untuk anak sulung yang terlalu apa adanya (whatever it means).
Ketika suasana hati saya sedang baik, saya akan coba menjelaskan bahwa saya ingin pernikahan kami nyaman dari awal sampai akhir. Berpesta seharian yang biayanya bisa jadi setara mobil baru, hanya demi meninggalkan semua itu keesokan harinya untuk mengejar penerbangan ke Perth tentu tidak akan membuat saya nyaman secara fisik dan mental.
Tapi memang beberapa waktu menjelang pernikahan, suasana hati saya memang tidak terlalu baik (insomnia menahun, Jakarta-Bekasi-Malang pp, visa, foto thorax, KUA, semua urusan tiket domestik/internasional, dan begitu banyak hal lain yang harus saya pikirkan sendirian) sehingga kadang respon saya bisa jadi agak menjengkelkan. Jika ada yang membawa-bawa jabatan lagi untuk membuat saya berubah pikiran, besar kemungkinan jawaban saya akan semacam "Ah bagus dong kalo orang sudah tau kondisinya begitu, jadi kalo gak ada resepsi kan kita gak akan dituduh kurang uang". Kasar. Sejadi-jadinya. Saya tahu itu.
Saya mohon maaf atas kekasaran saya waktu itu.
Nabi kita yang mulia bersabda agar orang yang menikah/menikahkan orang lain mengadakan pesta walaupun hanya dengan memotong seekor kambing. Kami tentulah tidak ingin mengabaikan sama sekali anjuran seelok itu. Bagaimanapun, pernikahan kami adalah pernikahan baik-baik yang ingin kami kabarkan pada semua orang, bukannya kami tutup-tutupi. Maka, pada saat akad itu kami buat pula syukuran sederhana yang dihadiri tetangga, saudara, kerabat kami serta kolega ayah ibu saya. Kami mungkin tidak tahu rasanya linu-linu selepas resepsi di gedung, tapi mempersiapkan pernikahan dalam waktu sesingkat itu sambil mengurusi hal-hal lainnya saya rasa sudah cukup mewakili.
Memang tidak serta-merta orangtua saya mengubur keinginan untuk membuat resepsi yang lebih baik (whatever it means) bagi kami. Beberapa kali masih mereka berusaha membujuk kami untuk mengadakan pesta besar di bulan Oktober besok, atau mengucapkan kalimat semacam "Batal ya resepsinya? Yaudah bagus, uangnya bisa tak simpen buat beli anu" untuk menggoda kami agar kami berubah pikiran. Bagi kami toh, no way. We're already sooo married now. Rasanya sudah super basi, saya sudah kadung pernah dihamili suami saya, dan palingan juga gitu-gitu aja linunya nyalami ratusan, bahkan ribuan orang di gedung gede manapun (bayangkan saja halal bihalal di lapangan pas masih sekolah).
Bagaimanapun juga, hingga saat ini pun saya masih terpukau atas betapa sehat dan bijaknya orangtua saya menyikapi permintaan nikah tanpa resepsi anak yang dari kecil kelakuannya susah diduga ini. Kami belum tahu bagaimana sesungguhnya perasaan mereka atas hal ini, tapi mudah-mudahan mereka baik-baik aja sama ini semua.
E D I T B A G I A N 2:
Bahkan sampai di akhir pos, saya gak menjelaskan dengan gamblang ya kenapa saya akhirnya memutuskan untuk menikah tanpa resepsi? Jadi gini, sebelum berangkat ke Oz, sebetulnya kami dan keluarga sudah sepakat untuk mengadakan resepsi di suatu waktu di akhir tahun 2015 atau awal 2016. Kenapa gak langsung aja setelah akad resepsinya? Karena demi Tuhan waktu itu semua tiket pesawat dan hotel sudah dipesan dan dibayar, jadi sayang kan kalo harus hangus karena maksain resepsi saat itu juga. Konyolnya kemudian setelah hidup berdua sama S, kami tiba-tiba berubah pikiran dan males ribet lagi pesta-pestaan untuk pernikahan yang bahkan udah sah berbulan-bulan lalu. Saya dan S ini prinsipnya jangan mau ribet kalo bisa santai. Terus mau ngulang lagi gitu urusan ngubungin katering, cari penjahit sama cari perias? Makasih, tapi dari pada gitu saya pilih tidur siang aja. Ih tapi jangan dikira orang tua saya gak heboh banget tiap minta supaya mereka bisa bikin resepsi untuk kami ya: HEBOHNYA UDAH AMPUN-AMPUNAN sampe pantes diketik pake huruf kapital semua. Cuman hmm gak deh. Gak ada efeknya juga mau resepsian atau engga, karena tetep aja saya insomnia dari 2006: udah 10 tahun gak sembuh-sembuh. Pffftt.
E D I T B A G I A N 3
Tulisan ini memang bisa bikin interpretasi macam-macam ya. Saya bukannya antiresepsi loh. Resepsi besar itu baik, tanpa resepsi besar juga baik. Janganlah tulisan ini dianggap sebagai saya menolak ide di balik resepsi besar orang lain. If you like it, go for it. Seandainya waktu itu saya tidak dikejar tiket untuk segera terbang ke Ostrali, saya pasti sudah resepsian saat itu juga setelah akad. Tapi kondisinya gak memungkinkan saat itu, dan di saat orang tua saya menagih resepsi ketika saya balik ke kampung halaman, ternyata saya dan suami kadung males repot. Jadi, anggaplah tulisan ini sebagai cerita behind the scene orang yang nikah tanpa resepsi besar, bukannya cerita tentang orang yang kampanye antiresepsi. Ok ok ok? Thank you...
Cerita Tentang Seserahan
Cerita Tentang Mahar
Biaya Menikah Tanpa Resepsi
D I E D I T P A D A 1 M E I 2 0 1 6:
Gak nyangka ternyata pos ini sudah dibaca ribuan kali sejak pertama ditulis pada bulan September tahun lalu. Entah kenapa, ternyata cukup banyak orang yang memasukkan kata kunci "menikah tanpa resepsi" dan sejenisnya di Google dan akhirnya terjebak di blog ini :) Pos ini sebetulnya cuman bertujuan sebagai klarifikasi berkedok iseng karena waktu itu saya dan suami saya menikah pada 14 April 2015 di Malang dan lusanya kami sudah makan siang di Perth. Beberapa minggu setelahnya ibu saya menghubungi saya dengan gemes-gemes geram karena beberapa orang kenalannya dengan frontal maupun pake kode mengira pernikahan kami yang (bagi mereka) seperti tergesa-gesa dilatarbelakangi adanya KECELAKAAN yang mengharuskan saya SEMBUNYI dari khalayak ramai dengan modus seolah-olah saya sedang ada di luar negeri. Bahkan baru beberapa belas minggu kami menikah, ibu saya sudah ditodong pertanyaan "Tia udah lahiran?"
Tergesa-gesa? Ih itu lucu banget karena siapapun yang kenal kami cukup dekat pasti tahu bahwa setahun sebelumnya, kami sudah pasang pengumuman lisan di seantero benua bahwa kami akan menikah di tahun 2015. Yang gak tahu ya karena berarti gak cukup dekat aja kenalnya :)
Baca juga
1. Tips Liburan Murah ke Bali bagian 1
2. Tips Liburan Murah ke Bali bagian 2
3. Tips Liburan Murah ke Bali bagian 3
4. Tips Liburan Murah ke Bali bagian 4
5. Tips Liburan Murah ke Bali bagian 5
Kami nggak marah karena wajar manusia menyukai sensasi, apalagi kalo sensasinya jelek kayak anak orang gak ada angin, gak ada ujan taunya MBA. Apalagi kemudian ilang beberapa waktu alasannya pergi ke luar negeri. Emang agak susah dipercaya sih ya. Tapi, maaf ya kalo saya bikin para biang gosip kecewa, cuman saya nggak nikah karena ada apa-apa duluan kok. Sampe detik ini di setahun pernikahan saya belum juga hamil malah :)
Bagi saya pernikahan begitu membahagiakan hingga saya merasa tidak perlu menundanya begitu kandidat telah datang dan sudah sama-sama bersedia berkomitmen. Selepas lulus kuliah, S pun pergi merantau lalu memutuskan untuk melamar saya. Ayah ibu saya pun baik-baik saja dengan ide ini. Mereka sebagaimana orang tua lain yang anaknya akan segera menikah, justru lebih berkonsentrasi memikirkan hal-hal seremonial yang jamak menjadi tetek bengek perkawinan. "Gimana nanti resepsimu?" "Aku perlu siap uang berapa?" "Kamu mau di gedung anu gak, soale aku dapat diskon?" ---adalah segelintir pertanyaan yang diajukan ayah saya ketika omongan tentang perkawinan mulai santer terdengar di rumah.
Saya adalah anak perempuan sulung. Mudah bagi saya untuk berempati pada kedua orang tua saya yang merasa punya kewajiban untuk menikahkan anak sulungnya dengan layak --dan dengan layak yang dimaksud tampaknya adalah menyelenggarakan pernikahan yang pantas dalam skala mereka sebagaimana orang memandang (whatever it means). Tapi, bagaikan ucapan Shakespeare dalam Hamlet, saya banyak meragukan hal-hal di sekitar saya. Perlukah saya menikah dengan resepsi mahadaya? Perlukah kami mengundang orang berpesta sementara saya dan S pun masih tertatih menapaki jalan baru yang kali ini hanya kami berdua pelakunya? Lebih-lebih saat itu, S hanya punya 3 hari untuk kembali ke Malang sehingga semua waktu persiapan menjadi sangat mepet untuk mengorganisasi resepsi besar. Di lain sisi, saya pun sebagaimana gadis-gadis 90an produk Disney, barang tentu punya bayangan akan pernikahan impian di mana saya memakai baju putih panjang bertabur kristal di suatu gedung megah sambil memutar lagu Beautiful in White. Ibu saya sudah lama mengumpulkan kartu-kartu undangan yang diperolehnya, kalau-kalau nanti kami tertarik pada salah satu desainnya. Ayah saya apalagi, akhir-akhir itu bekerja sangat keras dan entah main-main atau serius, sering sekali mengatakan "untuk nambah-nambah uang resepsimu"
Tapi sungguh saya dan S memang kadang suka keterlaluan dalam mendobrak batas. Saya tidak anjurkan hal ini untuk dilakukan semua orang --cukup saya dan orang-orang yang setuju saja yang melakukannya. Bukan hanya saya bersedia pasang badan untuk berargumen dengan ibu serta nenek-nenek saya perihal penolakan keras saya untuk menikah "dengan tanggal yang baik" (masih ada gak sih yang percaya gituan di tahun 2016 ini?), saya juga berusaha meyakinkan orangtua saya bahwa, 'ayolaaah...buat apa sih kita diperbudak terus sama tradisi? Sekali-kali perlu kita paksa tradisi untuk manut pada logika kita'.
Percayalah, tidak selalu mudah untuk membuat orangtua kita setuju pada tindakan se-abnormal itu. Mungkin saya perempuan pertama dalam keluarga besar kami yang pernah punya ide sebandel itu. Tapi saya sangat mengapresiasi bagaimana orangtua saya lalu membuka pikiran lebar-lebar dan bersedia menampung usul saya yang tidak umum itu.
Melihat ayah saya di ambang setuju di detik-detik terakhir, banyak kemudian orang yang lalu me-negasi pemikiran kami. Yang dijadikan argumen tentu saja posisi ayah saya yang saat ini sedang bagus (whatever it means) dan bahwa saya meletakkan ayah saya di tempat yang buruk dengan memaksanya mengadakan pernikahan untuk anak sulung yang terlalu apa adanya (whatever it means).
Ketika suasana hati saya sedang baik, saya akan coba menjelaskan bahwa saya ingin pernikahan kami nyaman dari awal sampai akhir. Berpesta seharian yang biayanya bisa jadi setara mobil baru, hanya demi meninggalkan semua itu keesokan harinya untuk mengejar penerbangan ke Perth tentu tidak akan membuat saya nyaman secara fisik dan mental.
Tapi memang beberapa waktu menjelang pernikahan, suasana hati saya memang tidak terlalu baik (insomnia menahun, Jakarta-Bekasi-Malang pp, visa, foto thorax, KUA, semua urusan tiket domestik/internasional, dan begitu banyak hal lain yang harus saya pikirkan sendirian) sehingga kadang respon saya bisa jadi agak menjengkelkan. Jika ada yang membawa-bawa jabatan lagi untuk membuat saya berubah pikiran, besar kemungkinan jawaban saya akan semacam "Ah bagus dong kalo orang sudah tau kondisinya begitu, jadi kalo gak ada resepsi kan kita gak akan dituduh kurang uang". Kasar. Sejadi-jadinya. Saya tahu itu.
Saya mohon maaf atas kekasaran saya waktu itu.
Nabi kita yang mulia bersabda agar orang yang menikah/menikahkan orang lain mengadakan pesta walaupun hanya dengan memotong seekor kambing. Kami tentulah tidak ingin mengabaikan sama sekali anjuran seelok itu. Bagaimanapun, pernikahan kami adalah pernikahan baik-baik yang ingin kami kabarkan pada semua orang, bukannya kami tutup-tutupi. Maka, pada saat akad itu kami buat pula syukuran sederhana yang dihadiri tetangga, saudara, kerabat kami serta kolega ayah ibu saya. Kami mungkin tidak tahu rasanya linu-linu selepas resepsi di gedung, tapi mempersiapkan pernikahan dalam waktu sesingkat itu sambil mengurusi hal-hal lainnya saya rasa sudah cukup mewakili.
Memang tidak serta-merta orangtua saya mengubur keinginan untuk membuat resepsi yang lebih baik (whatever it means) bagi kami. Beberapa kali masih mereka berusaha membujuk kami untuk mengadakan pesta besar di bulan Oktober besok, atau mengucapkan kalimat semacam "Batal ya resepsinya? Yaudah bagus, uangnya bisa tak simpen buat beli anu" untuk menggoda kami agar kami berubah pikiran. Bagi kami toh, no way. We're already sooo married now. Rasanya sudah super basi, saya sudah kadung pernah dihamili suami saya, dan palingan juga gitu-gitu aja linunya nyalami ratusan, bahkan ribuan orang di gedung gede manapun (bayangkan saja halal bihalal di lapangan pas masih sekolah).
Bagaimanapun juga, hingga saat ini pun saya masih terpukau atas betapa sehat dan bijaknya orangtua saya menyikapi permintaan nikah tanpa resepsi anak yang dari kecil kelakuannya susah diduga ini. Kami belum tahu bagaimana sesungguhnya perasaan mereka atas hal ini, tapi mudah-mudahan mereka baik-baik aja sama ini semua.
E D I T B A G I A N 2:
Bahkan sampai di akhir pos, saya gak menjelaskan dengan gamblang ya kenapa saya akhirnya memutuskan untuk menikah tanpa resepsi? Jadi gini, sebelum berangkat ke Oz, sebetulnya kami dan keluarga sudah sepakat untuk mengadakan resepsi di suatu waktu di akhir tahun 2015 atau awal 2016. Kenapa gak langsung aja setelah akad resepsinya? Karena demi Tuhan waktu itu semua tiket pesawat dan hotel sudah dipesan dan dibayar, jadi sayang kan kalo harus hangus karena maksain resepsi saat itu juga. Konyolnya kemudian setelah hidup berdua sama S, kami tiba-tiba berubah pikiran dan males ribet lagi pesta-pestaan untuk pernikahan yang bahkan udah sah berbulan-bulan lalu. Saya dan S ini prinsipnya jangan mau ribet kalo bisa santai. Terus mau ngulang lagi gitu urusan ngubungin katering, cari penjahit sama cari perias? Makasih, tapi dari pada gitu saya pilih tidur siang aja. Ih tapi jangan dikira orang tua saya gak heboh banget tiap minta supaya mereka bisa bikin resepsi untuk kami ya: HEBOHNYA UDAH AMPUN-AMPUNAN sampe pantes diketik pake huruf kapital semua. Cuman hmm gak deh. Gak ada efeknya juga mau resepsian atau engga, karena tetep aja saya insomnia dari 2006: udah 10 tahun gak sembuh-sembuh. Pffftt.
E D I T B A G I A N 3
Tulisan ini memang bisa bikin interpretasi macam-macam ya. Saya bukannya antiresepsi loh. Resepsi besar itu baik, tanpa resepsi besar juga baik. Janganlah tulisan ini dianggap sebagai saya menolak ide di balik resepsi besar orang lain. If you like it, go for it. Seandainya waktu itu saya tidak dikejar tiket untuk segera terbang ke Ostrali, saya pasti sudah resepsian saat itu juga setelah akad. Tapi kondisinya gak memungkinkan saat itu, dan di saat orang tua saya menagih resepsi ketika saya balik ke kampung halaman, ternyata saya dan suami kadung males repot. Jadi, anggaplah tulisan ini sebagai cerita behind the scene orang yang nikah tanpa resepsi besar, bukannya cerita tentang orang yang kampanye antiresepsi. Ok ok ok? Thank you...
My 25 Before 25
Karena blogwalking dan lihat pos-pos orang yang bikin daftar 25 Before 25, saya jadi pengen juga buat. Semenjak menikah saya jadi banyak bikin rencana (walaupun banyak juga yang gak pernah dikerjakan hehe), jadi kenapa gak sekalian aja pajang daftar 25 cita-cita saya sebelum umur 25 di blog? Nothing too fancy here, kan semua juga pada tau lah gimana kondisi moneter saya #nangiskejer. Saya punya waktu 11 bulan sebelum resmi jadi mbak-mbak 25 tahun. Yang habis baca pos ini siapa tahu ada yang terinspirasi atau malah mau mbayari hohoho.
DIEDIT 24 Agustus 2016
DIEDIT 24 Agustus 2016
- Bisnis sembako Dari kecil dibilang gak punya darah dagang jadi pengen membuktikan bahwa yang namanya dagang, sebagaimana ilmu lain, datangnya sebab dipelajari bukan diturunkan. Realisasi: Gak kejadian. Sekali karirku jualan adalah ketika jualan coklat dari ostrali dan masih males mau jual-jualan lagi. Apakah ini yang dinamakan tidak berbakat? -_-
- Ikut tantangan 30 hari menulis di blog Biar gak dibilang blogger musiman (walaupun emang iya) Realisasi: Boro-boro cyin, sekali sebulan juga belum selalu jalan
Mengubah gaya tulisan alay jadi tulisan halus kayak kakek nenekBosen punya tulisan berfont comic sans terus--gak ada seni-seninya. Mulai sekarang, saya galakkan lagi nulis tegak bersambung biar kayak orang lawas.kayak gini
- Menutup aurat beneran, pake kaos kaki dan daleman sampe pergelangan tangan Pindah ke sini gak makin bener malah makin sering buka kerudung. Kudu mulai giat lagi meluruskan hati untuk menutup aurat. Realisasi: Alhamdulillah udah di jalan yang benar, cuman kaki aja yang masih sering nongol #istighfar
Mendonasikan 25 potong pakaian bagus Selama ini hanya mendonasikan baju yang udah gak suka/kekecilan/kegedean. Mulai sekarang harus meluruskan niat dalam berderma: hanya berikan apa yang saya sendiri mau make dan masih sayang.- Reuni sama keluarga besar Udah setengah tahun lebih gak pernah ketemu. Harus meluangkan waktu dan mengorganisasi reuni akbar. Realisasi: Udah sih ketemu keluarga besar, tapi bukan atas nama reuni.
- Naik roller coaster 180 derajat Pengen mengalahkan rasa takut! (padahal ke toilet siang bolong juga minta ditemenin) Realisasi: Nihil!
- Menginap di hotel bintang lima Dua taun lalu pernah nginep di The Grand Hyatt Nusa Dua, tapi itu karena dibayarin kantor dan pas belom menikah. Sekarang pengen nginep di tempat yang agak berkelas sama suami. Pengen tau aja rasanya. Realisasi: Cuman kesapaian di bintang empat liburan natal Desember tahun lalu. Mehong cyin -_-
- Candle light dinner di hotel bintang lima juga. Gak mau yang abal-abal #ditaboksegepokduit #recehan. Realisasi: Omong kosong
adek maunya yang begini bang - Pergi ke benua lain entah Eropa, Amerika atau Afrika. Bukan buat apa-apa, cuman pengen aja. Realisasi: Belom, lupa paspor pada mati begini. Ke Tulungagung takziyah gak nginep aja udah berasa jauh banget.
- Foto sama artis biar lebih greget sense of alay nya. Lebih afdol kalo pake minta tanda tangan. Realisasi: tahun ini saya ketemu banyak seleb di bandara, termasuk KAK LOLI dan PIPI ANANG! Gadeh, gedean malu sama norak ternyata hamdan lillah.
- Arung jeram udah puluhan kali diajakin temen, udah puluhan kali nolak. Kali ini harus kesampaian. Realisasi: belom
- Masak menu yang berbeda selama sebulan penuh masa sejak nikah yang dimasak muter-muter di steak, sayap ayam aneka rupa, nasi goreng, tumis sayur... gitu terus kayak gadis tak bertalenta T_T Realisasi: Nol kosong
- Naik gunung Selama ini gak pernah tertarik karena males dingin, sekarang harus nyoba karena udah ada yang bisa dipeluk #kemudiandisensorKPI Realisasi: belom, gunung pada ditutup sekarang mah
- Belajar (lagi) bahasa Mandarin sampe lancar Gak ada alasan tertentu, cuman pengen menghayati akar aja. Realisasi: wopucetao
Mewarnai rambut ungu Gak ada alasan tertentu juga: cuman sekedar pengen tau rasanya.Realisasi: Udah, dan udah luntur juga jadi warna lain oh please deh- Mencapai 500.000 pembaca blog Kayaknya agak susah, secara juga bukan blogger hits dan nulis juga musiman aja pas mood enak, tapi gak ada salahnya juga sih punya keinginan Realisasi: Terakhir dicek kira-kira cuman 18ribuan wkwkwk
- Pedicure Seumur-umur belum pernah pedicure serius yang serba steril gitu. Mumpung jempol lagi kapalan. Realisasi: ohoho aku tidak punya kapalan lagi sekarang
- Menaikkan berat badan hingga 52kg Kirain baju yang melar, tapi ternyata di sini berat badan yang tinggal 43kg--turun 5 kilo dari berat asal. Kudu naik 9kg supaya bisa melakukan target di nomer 25. Realisasi: udah di 50kg, kurang 2 kilo lagi!
- Naik Garuda Indonesia Seumur-umur baru 2x naik Garuda Indonesia. Itupun ekonomi, dibayarin kantor juga. Sekali-kali lah pengen foto sayap biru, jangan merah mulu. Realisasi: setaun ini cuman 2 kali saya terbang, yang satu pake putih tukang ngaret, satunya lagi pake si merah murah meriah wkwk
- Ngelaser flek-flek di muka Sebelum semua terlambat kayak ibu saya. Sejak nikah ini jadi muncul beberapa freckles coklat yang gak imut di bawah-bawah mata, padahal udah relijius banget make sunscreen nya. Realisasi: akan segera, sementara masih di fase priming kulit. Mudah-mudahan sebulan lagi.
- Naik vespa Murni pengen tau rasanya ngangkang pas dibonceng. Realisasi: Gak ada vespa yang bisa dipinjem. Seminggu lalu lewat rumah suami yang dikontrakin dan lihat ada vespa tapi ya ampun malu kali mau minjem. Alesannya apa? Biar trendy gitu?
atau gini aja deh kalo gak boleh ngangkang - Nemu penjual STP dan bikin bakso sendiri sedandang penuh Googling gih yang gak tau STP. Lagi males jelasin panjang lebar nih hahahah... Pokoknya begitu mudik harus banget wajib makan bakso sedandang. Udah berbulan-bulan gak makan bakso rasanya separuh jiwaku pergi. Realisasi: belom. Sebetulnya di Malang ini kalo kita menggilingkan daging di tukang giling, secara otomatis dia akan nambahin bumbu dan STP dalam dagingnya, tapi saya inget cerita tante saya yang ngegilingin daging murni dan balik-balik malah kecampur paruh dan ceker ayam dalam adonannya.
- Menanam rosemary, basil dan ketumbar di Malang yang pertama untuk bikin steak, yang kedua untuk bikin pizza dan yang ketiga untuk digado aja pake ayam goreng sumpah surgawi banget rasanya. Realisasi: Masa nih ya, saya kan nanem ketumbar di pot depan rumah, tapi beneran wallahi yang tumbuh malah cabe coba!
- Donor darah Golongan darah saya kabarnya langka di Malang. Kasian yang pada nyari. Selama ini bukannya pelit sih, tapi saya hipotensi dan kurang berat juga. Realisasi: belom, tunggu tensi naik dan berat badan normal dulu.
Sunday, September 20, 2015
Membangun Rumah Tangga Sakinah
Judulnya kok gitu banget ya? Mringis dulu deh sambil elus-elus pala botak. Salam super!
Sebelum menikah, saya dan S adalah jenis pasangan yang mungkin bikin gerah kalo kalian kelamaan deket-deket sama kami. Kami beberapa kali bertengkar hebat. Walaupun gak sampai main tangan juga, tapi tetep saja ada intonasi tinggi, kadang kala diselingi fenomena ponsel terbang.
Kemarahan saya pada S sering terpicu oleh hal-hal yang sebetulnya sudah lewat, sedangkan S sering marah pada saya karena hal-hal kecil. Soal skripsi yang rampung terlambat bisa bikin saya marah pada S, padahal juga waktu itu dia sudah diwisuda. Gak kalah konyolnya, cuman masalah kepedesan bikin sambel pun pernah membuat S marah pada saya.
Syukurlah Tuhan Yang Maha Baik masih mau mengingatkan kami yang kekanak-kanakan lagi bodoh ini tentang hal itu. Ya saya tahu ini aneh: tapi sebelum menikah, kami sering sekali terperangkap dalam situasi canggung akibat orang bertengkar. Yang teman kami dibentak oleh pacarnya lah, yang si ini berantem sama si itu lah... Pokoknya banyak sekali pengalaman gak enak gara-gara kami terjebak di tengah dua orang yang marah-marah.
Kami tidak pernah berdiskusi mengenai hal itu lagi. Mungkin kami berdua merasa sama-sama tahu tanpa saling membicarakan. Mungkin juga jarak ribuan kilometer di antara kami selanjutnya yang mengajari kami bahwa hubungan yang kalem adalah hubungan terbaik.
Di hari pernikahan kami, seorang tante saya yang baik mengingatkan saya untuk berdoa bersungguh-sungguh setelah akad selesai dilaksanakan. "Banyak malaikat menyaksikan", katanya, "minta apapun yang kamu inginkan". Lalu saya pun berdoa bersungguh-sungguh kala itu. Bukan harta yang saya minta terutama. Saya hanya meminta agar rumah tangga kami nanti sakinah; penuh ketenangan dan kedamaian.
Mungkin terlalu dini untuk mengatakan bahwa perjalanan kami yang baru lima bulan ini sakinah, tapi kami sungguh bersyukur. Tidak pernah sehari pun kami bertengkar: besar maupun kecil. Tidak pernah satu kali pun. Kerikil-kerikil pasti ada di sepanjang jalan, tapi kami selalu menemukan jalan beraspal mulus tampaknya. Emang sih, pernah sekali saya kesal gara-gara saya masak ayam: sudah ayamnya lebih mahal dari biasanya, bumbunya ala-ala India dan saya panggang lama sekali, S menolak makan ayam tersebut. Ayamnya jemek, dia bilang. Pernah pula suatu hari saya membongkar lemari pakaiannya yang mulai penuh, lalu membuangi beberapa baju yang saya anggap sudah tidak layak pakai tanpa sepengetahuannya.
Kami bisa saja marah meraung-raung akibat hal-hal tersebut: saya masak bahkan tanpa sempat mengganti baju kerja saya karena saya ingin S bisa makan siang tepat waktu; S juga bisa saja meneriaki saya karena beberapa baju yang saya buang ternyata adalah baju-baju yang memiliki cerita emosional yang lekat bagi dia. Tapi, alih-alih marah, saya berikan chicken tandoori itu pada tetangga yang ternyata gembira sekali memakannya. S pun begitu: dia hanya bilang bahwa lain kali saya perlu memberi tahu dia sebelum membuang pakaian apapun.
Ada orang yang bilang hubungan kami ini tidak sehat hanya karena kami tidak pernah berdebat. Bukan saja kami anggap idenya tidak brilian: kami juga iba pada pemikiran semacam itu. Bertengkar dalam skala apapun: besar, menengah maupun kecil tidak pernah baik bagi kesehatan mental manusia manapun. Terlepas dari ujung-ujungnya baikan lagi atau malah menjadi bibit dendam, bertengkar hanyalah radikal bebas yang membuat hubunganmu dengan pasanganmu menua lebih cepat, dengan keriput-keriput dan flek-flek hitam yang tidak sedap dipandang: atau didengar. Oleh orang-orang tidak bersalah yang apes karena kebetulan berada di sekitar kalian ketika kalian saling membentak atau menjambak.
Bertengkar memang nikmat sesungguhnya. Saya tahu persis rasanya: seperti membiarkan diri kita terseret oleh arus emosi yang sangat kuat, kemudian untuk sesaat merasa lega. Marah-marah memang mampu membuat kita merasa memiliki otoritas atas orang yang kita marahi. Tapi benarkah begitu? Saya kurang yakin atas kebenarannya, mengingat rasa lega yang kita rasakan hanya sementara sedangkan penyesalan yang datang belakangan malah sering lebih intensif dalam menyiksa batin kita. Sebelum memulai pertengkaran, saya punya usul supaya kita menimbang-nimbang dulu: relakah kita mengorbankan ketenteraman dan kedamaian rumah tangga kita yang hebat (anggap saja hebat, biar lebih sesuai konteks) demi kekacauan temporer yang berpotensi mencederai hubungan kita secara permanen?
Dalam hubungan dua orang manusia fana yang bahkan saling mengasihi, saya yakin tidak pernah ada kesempurnaan. Karena sudah sama-sama mau dinikahi, boleh kan diasumsikan bahwa dua orang tersebut sudah tahu sama tahu tentang kekurangan masing-masing dan ikhlas menerima apa adanya? Mekanisme sakinah sangat sederhana sebetulnya: suck up your pride and discuss like grownups. Tidak perlu saling mendebat apalagi meneriaki. Yang namanya feedback kan bisa diberikan dengan kata-kata yang lemah, walau saya tetap usul agar kita membenahi diri sendiri dulu sebelum teliti mengobservasi cela orang lain.
Dan sedikit cerita saja: akhir-akhir ini Markonah dan Markucel (maaf atas referensi Jawa Pos saya: coba baca cerita tentang mereka di pos ini) sering sekali ribut. Karena kamar mereka berseberangan dengan kamar kami, jelas dong kami bisa denger dengan jelas teriakan-teriakan Markonah dan suara tabokan yang dia layangkan pada suaminya hingga akhirnya dia minggat ke rumah sepupunya minta dijemput di tengah malam buta seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Aib tetaplah aib dan kami pun menyayangkan kejadian itu, tapi kami tidak bisa mengabaikan bagaimana orang-orang lain di rumah ini terimbas oleh tingkah polah mereka: terganggu waktu tidurnya, kesal dan menyumpahi mereka dengan buruk.
Rasa tidak nyaman yang ditimbulkan oleh pertengkaran orang lain memang sangat besar hingga kami akhirnya sampai pada kesimpulan: Tidak ada seorangpun yang tertarik pada masalah kita. Tidak perlu makanya kita bertengkar dan tampak di depan mata orang lain karena sesungguhnya they don't give a sh*t atas apapun yang terjadi pada kita. Jadi jika lain kali (ketok-ketok meja, naudzubillahi min dzaalik) kami betul-betul kesal pada satu sama lain, semoga kami tetap ingat akan hal itu sehingga terhindar dari mempermalukan diri sendiri dan menghancurkan kedamaian yang susah payah kami bangun dalam rumah tangga seumur jagung ini :))
Salam super lagi!
Tulisan ini adalah hadiah pernikahan untuk dua orang kawanku yang baru saja menikah dan yang akan segera menikah. Yang baru saja menikah adalah orang yang memberitahu saya arti kata "sakinah" --yang ternyata berakar dari kata sukun (=ketenangan; kedamaian) dalam Bahasa Arab. Semoga rumah tanggamu sakinah pula, Kawan!
Yang akan segera menikah adalah Riza dan Bang Reza. Dari namanya aja udah ketauan kan kalo cocok. Suit suiiiiit!
Sebelum menikah, saya dan S adalah jenis pasangan yang mungkin bikin gerah kalo kalian kelamaan deket-deket sama kami. Kami beberapa kali bertengkar hebat. Walaupun gak sampai main tangan juga, tapi tetep saja ada intonasi tinggi, kadang kala diselingi fenomena ponsel terbang.
Kemarahan saya pada S sering terpicu oleh hal-hal yang sebetulnya sudah lewat, sedangkan S sering marah pada saya karena hal-hal kecil. Soal skripsi yang rampung terlambat bisa bikin saya marah pada S, padahal juga waktu itu dia sudah diwisuda. Gak kalah konyolnya, cuman masalah kepedesan bikin sambel pun pernah membuat S marah pada saya.
Syukurlah Tuhan Yang Maha Baik masih mau mengingatkan kami yang kekanak-kanakan lagi bodoh ini tentang hal itu. Ya saya tahu ini aneh: tapi sebelum menikah, kami sering sekali terperangkap dalam situasi canggung akibat orang bertengkar. Yang teman kami dibentak oleh pacarnya lah, yang si ini berantem sama si itu lah... Pokoknya banyak sekali pengalaman gak enak gara-gara kami terjebak di tengah dua orang yang marah-marah.
Kami tidak pernah berdiskusi mengenai hal itu lagi. Mungkin kami berdua merasa sama-sama tahu tanpa saling membicarakan. Mungkin juga jarak ribuan kilometer di antara kami selanjutnya yang mengajari kami bahwa hubungan yang kalem adalah hubungan terbaik.
Di hari pernikahan kami, seorang tante saya yang baik mengingatkan saya untuk berdoa bersungguh-sungguh setelah akad selesai dilaksanakan. "Banyak malaikat menyaksikan", katanya, "minta apapun yang kamu inginkan". Lalu saya pun berdoa bersungguh-sungguh kala itu. Bukan harta yang saya minta terutama. Saya hanya meminta agar rumah tangga kami nanti sakinah; penuh ketenangan dan kedamaian.
Mungkin terlalu dini untuk mengatakan bahwa perjalanan kami yang baru lima bulan ini sakinah, tapi kami sungguh bersyukur. Tidak pernah sehari pun kami bertengkar: besar maupun kecil. Tidak pernah satu kali pun. Kerikil-kerikil pasti ada di sepanjang jalan, tapi kami selalu menemukan jalan beraspal mulus tampaknya. Emang sih, pernah sekali saya kesal gara-gara saya masak ayam: sudah ayamnya lebih mahal dari biasanya, bumbunya ala-ala India dan saya panggang lama sekali, S menolak makan ayam tersebut. Ayamnya jemek, dia bilang. Pernah pula suatu hari saya membongkar lemari pakaiannya yang mulai penuh, lalu membuangi beberapa baju yang saya anggap sudah tidak layak pakai tanpa sepengetahuannya.
Kami bisa saja marah meraung-raung akibat hal-hal tersebut: saya masak bahkan tanpa sempat mengganti baju kerja saya karena saya ingin S bisa makan siang tepat waktu; S juga bisa saja meneriaki saya karena beberapa baju yang saya buang ternyata adalah baju-baju yang memiliki cerita emosional yang lekat bagi dia. Tapi, alih-alih marah, saya berikan chicken tandoori itu pada tetangga yang ternyata gembira sekali memakannya. S pun begitu: dia hanya bilang bahwa lain kali saya perlu memberi tahu dia sebelum membuang pakaian apapun.
Ada orang yang bilang hubungan kami ini tidak sehat hanya karena kami tidak pernah berdebat. Bukan saja kami anggap idenya tidak brilian: kami juga iba pada pemikiran semacam itu. Bertengkar dalam skala apapun: besar, menengah maupun kecil tidak pernah baik bagi kesehatan mental manusia manapun. Terlepas dari ujung-ujungnya baikan lagi atau malah menjadi bibit dendam, bertengkar hanyalah radikal bebas yang membuat hubunganmu dengan pasanganmu menua lebih cepat, dengan keriput-keriput dan flek-flek hitam yang tidak sedap dipandang: atau didengar. Oleh orang-orang tidak bersalah yang apes karena kebetulan berada di sekitar kalian ketika kalian saling membentak atau menjambak.
Bertengkar memang nikmat sesungguhnya. Saya tahu persis rasanya: seperti membiarkan diri kita terseret oleh arus emosi yang sangat kuat, kemudian untuk sesaat merasa lega. Marah-marah memang mampu membuat kita merasa memiliki otoritas atas orang yang kita marahi. Tapi benarkah begitu? Saya kurang yakin atas kebenarannya, mengingat rasa lega yang kita rasakan hanya sementara sedangkan penyesalan yang datang belakangan malah sering lebih intensif dalam menyiksa batin kita. Sebelum memulai pertengkaran, saya punya usul supaya kita menimbang-nimbang dulu: relakah kita mengorbankan ketenteraman dan kedamaian rumah tangga kita yang hebat (anggap saja hebat, biar lebih sesuai konteks) demi kekacauan temporer yang berpotensi mencederai hubungan kita secara permanen?
Dalam hubungan dua orang manusia fana yang bahkan saling mengasihi, saya yakin tidak pernah ada kesempurnaan. Karena sudah sama-sama mau dinikahi, boleh kan diasumsikan bahwa dua orang tersebut sudah tahu sama tahu tentang kekurangan masing-masing dan ikhlas menerima apa adanya? Mekanisme sakinah sangat sederhana sebetulnya: suck up your pride and discuss like grownups. Tidak perlu saling mendebat apalagi meneriaki. Yang namanya feedback kan bisa diberikan dengan kata-kata yang lemah, walau saya tetap usul agar kita membenahi diri sendiri dulu sebelum teliti mengobservasi cela orang lain.
Dan sedikit cerita saja: akhir-akhir ini Markonah dan Markucel (maaf atas referensi Jawa Pos saya: coba baca cerita tentang mereka di pos ini) sering sekali ribut. Karena kamar mereka berseberangan dengan kamar kami, jelas dong kami bisa denger dengan jelas teriakan-teriakan Markonah dan suara tabokan yang dia layangkan pada suaminya hingga akhirnya dia minggat ke rumah sepupunya minta dijemput di tengah malam buta seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Aib tetaplah aib dan kami pun menyayangkan kejadian itu, tapi kami tidak bisa mengabaikan bagaimana orang-orang lain di rumah ini terimbas oleh tingkah polah mereka: terganggu waktu tidurnya, kesal dan menyumpahi mereka dengan buruk.
Rasa tidak nyaman yang ditimbulkan oleh pertengkaran orang lain memang sangat besar hingga kami akhirnya sampai pada kesimpulan: Tidak ada seorangpun yang tertarik pada masalah kita. Tidak perlu makanya kita bertengkar dan tampak di depan mata orang lain karena sesungguhnya they don't give a sh*t atas apapun yang terjadi pada kita. Jadi jika lain kali (ketok-ketok meja, naudzubillahi min dzaalik) kami betul-betul kesal pada satu sama lain, semoga kami tetap ingat akan hal itu sehingga terhindar dari mempermalukan diri sendiri dan menghancurkan kedamaian yang susah payah kami bangun dalam rumah tangga seumur jagung ini :))
Salam super lagi!
Tulisan ini adalah hadiah pernikahan untuk dua orang kawanku yang baru saja menikah dan yang akan segera menikah. Yang baru saja menikah adalah orang yang memberitahu saya arti kata "sakinah" --yang ternyata berakar dari kata sukun (=ketenangan; kedamaian) dalam Bahasa Arab. Semoga rumah tanggamu sakinah pula, Kawan!
Yang akan segera menikah adalah Riza dan Bang Reza. Dari namanya aja udah ketauan kan kalo cocok. Suit suiiiiit!
Saturday, September 19, 2015
Apakah Arti Eksotis?
Pada geli gak kalo ada temen atau baca-baca di mana gitu tentang orang Indonesia berkulit sawo matang yang pengen berjemur supaya kelihatan EKSOTIS? Punya kulit sawo matang itu anugerah. Suka sama kulit gelap gak dosa. Bahkan berjemur juga sah-sah saja. Terus apa yang bikin geli? Ya bagian ngomong EKSOTISnya itu loh yang salah sasaran.
Coba yuk kita cek lagi definisi eksotis dalam kamus kita. Yang gak punya kamus, ah tenang aja: bisa nyontek dari google kok dengan memasukkan kata kunci "exotic means":
nanti hasilnya akan muncul begini:
Nah, yuk coba kita lihat dan terjemahkan arti eksotis yang sesungguhnya.
1. berasal atau memiliki karakter dari negeri asing yang jauh
berakar dari bahasa Yunani exo yang berarti luar -- berkembang menjadi exoticos yang berarti asing -- lalu menurun ke bahasa Latin exotic
Eksotis = bersifat asing.
Kulit sawo matang = banyak banget jumlahnya di Indonesia
Eksotis ≠ kulit sawo matang
Sebagaimana salah kaprah yang lain, penggunaan kata eksotis juga banyak dilakukan oleh media dalam mendeskripsikan perempuan Indonesia, terutama selebritis, berkulit gelap yang tidak berusaha mencerahkan warna kulitnya dengan suntik maupun cara lainnya. Nih coba liat.
dan kalo salah yang begitu ya jangan ditiru.
Yuk daripada bingung mending kita buat tanya jawab hipotetikal soal penggunaan kata eksotis ini:
1. Betulkah Anggun dan perempuan-perempuan sawo matang Indonesia lain memiliki tampilan dan kulit eksotis?
Coba yuk kita cek lagi definisi eksotis dalam kamus kita. Yang gak punya kamus, ah tenang aja: bisa nyontek dari google kok dengan memasukkan kata kunci "exotic means":
nanti hasilnya akan muncul begini:
Nah, yuk coba kita lihat dan terjemahkan arti eksotis yang sesungguhnya.
1. berasal atau memiliki karakter dari negeri asing yang jauh
- menarik atau mengejutkan karena berwarna-warni atau tidak lumrah
- berasal dari jenis yang tidak digunakan untuk tujuan umum atau tidak biasa ditemui
berakar dari bahasa Yunani exo yang berarti luar -- berkembang menjadi exoticos yang berarti asing -- lalu menurun ke bahasa Latin exotic
Eksotis = bersifat asing.
Kulit sawo matang = banyak banget jumlahnya di Indonesia
Eksotis ≠ kulit sawo matang
Sebagaimana salah kaprah yang lain, penggunaan kata eksotis juga banyak dilakukan oleh media dalam mendeskripsikan perempuan Indonesia, terutama selebritis, berkulit gelap yang tidak berusaha mencerahkan warna kulitnya dengan suntik maupun cara lainnya. Nih coba liat.
![]() |
But two wrongs don't make it right |
dan kalo salah yang begitu ya jangan ditiru.
Yuk daripada bingung mending kita buat tanya jawab hipotetikal soal penggunaan kata eksotis ini:
1. Betulkah Anggun dan perempuan-perempuan sawo matang Indonesia lain memiliki tampilan dan kulit eksotis?
Betul
dong, tapiiiiiiiiii... cuman dari sudut pandang orang asing yang
penampilan fisik dan warna kulitnya tidak seperti orang Indonesia
kebanyakan. Anggun sih memang eksotis, tapi itu kalo kita pake standar tetangga-tetangganya di
Prancis.
2. Ih kok gitu?
Ya iyalah. Coba lihat lagi definisinya. Eksotis = tampak (orang) asing. Lha wong yang kulitnya sewarna sama Anggun itu di Indonesia jumlahnya ratusan juta orang.
Terus yang sawo matang merasa eksotis dari mana? Berapa persen sih
orang Indonesia yang kulitnya sangat terang/sangat gelap sampai terlihat
seperti orang asing ketika berbaur dengan sesamanya di Indonesia? Saya yakin jumlah mereka sedikit sekali. Mayoritas orang Indonesia
dilahirkan berwarna kuning langsat hingga sawo matang, yang mana
warna-warna tersebut tidak terlalu kontras dan tidak cukup ekstrem untuk
bisa disebut eksotis di Indonesia.
3. Berarti kalo kulitku sawo matang, aku gak eksotis dong Kak?
Enggak,
kamu nggak eksotis kalo menurut standar orang Indonesia. Gimana bisa kamu ngaku-ngaku "memiliki karakter dari negeri asing yang jauh" kalo ratusan juta orang saudaramu di negeri ini punya tampilan warna kulit yang beti-beti sama dirimu
4. Tapi aku pengen banget jadi eksotis Kak!
Supaya kamu dibilang eksotis, kamu sepertinya perlu:
a. masuk ke lingkungan orang asing yang secara fisik sangat berbeda dari kamu (misal kamu Jawa, ya main aja sama bule atau orang Somalia) atau
b. dandan pakai rumbai-rumbai ijuk dan rok ijo stabilo supaya kamu masuk ke dalam definisi eksotis yang satunya --> (attractive or striking because colorful or out of the ordinary)
a. masuk ke lingkungan orang asing yang secara fisik sangat berbeda dari kamu (misal kamu Jawa, ya main aja sama bule atau orang Somalia) atau
b. dandan pakai rumbai-rumbai ijuk dan rok ijo stabilo supaya kamu masuk ke dalam definisi eksotis yang satunya --> (attractive or striking because colorful or out of the ordinary)
5. Kok Kakak nyinyirin orang-orang eksotis sih? Iri ya?
Apakah saya punya alasan untuk iri? Warna dan tampilan saya semacam
kayak orang Indonesia lain. Alhamdulillah ukhti, kalo ana pernah iri terhadap
sesuatu, mungkin hanya suatu kala ketika ana melihat isteri-isteri
soleha yang selalu taat dan patuh pada perintah Tuhan dan suaminya...
#diuncalno
Fiuuhhh akhirnya kelar juga curhat pengganjal hati nan eksotis. Yaudah deh, mau masakin suami dulu.Eh ngiklan lagi, kalo mau tau update kehidupan saya dalam gambar, boleh lah tengok akun instagram saya @amaliasardjono. Sambil difollow ya! Saya jenis orang yang kalo difollow langsung follow balik kok biarpun gak diminta. #fakirfollow. edit: berhubung banyak foto-foto yang saya ambil di jaman jahiliyah dulu belom dihapus, lupakan iklan saya soal follow ig hehehe.
Fiuuhhh akhirnya kelar juga curhat pengganjal hati nan eksotis. Yaudah deh, mau masakin suami dulu.
My Life Update
Hi folks! Sorry for having been MIA for a while!
Been busy here, mostly working and napping hehe. Now I'm thinking about writing the rest of his post in Bahasa or in English because I'm trying to block some people from knowing what I've been up to while at the same time I need others to keep up LOL. So yeah Bahasa, that is.
1. Ada orang baru yang pindah ke rumah
Sebelumnya hanya ada lima orang di rumah: S dan saya, sepasang lesbian Hongkong yang sangat murah hati dan laki-laki penjaga rumah yang sering merasakan kemurahan hati mereka: sebut saja Markucel, 36 tahun. Markucel yang mengaku duda 3x dan mempunyai bayi berumur 6 bulan dicomblangi oleh istri bosnya sama seorang gadis Tiongkok utara yang bernama Markonah, 29 tahun. (duh sorry banget deh atas referensi Jawa Pos yang kelewat jelata. Kangen tauk udah beberapa bulan gak baca itu!) Setelah chatting-chatting dari pagi sampai malam, di minggu ke 8 Markucel memutuskan untuk pulang ke Tiongkok dan menikahi Markonah. Singkat cerita, Markonah yang berwajah mirip Asri Welas versi Asia Timur ini pun diboyong ke Geraldton walaupun tidak bisa berbahasa Inggris. Dua orang lovey dovey itu pun hidup bersama walau baru kenal dua bulan. Markonah terbukti mampu mengubah Markucel yang sebelumnya sangat frugal. Jika sebelumya Markucel hanya makan makanan yang didapat dari restoran tempatnya bekerja, kini Markucel tahu nikmatnya ngemil anggur dan granola bar malam-malam. Jika sebelumnya kulkas Markucel kosong melompong, kini kulkas kami pun ikut kesumpelan bahan-bahan makanan eksotis* sebangsa akar teratai beku, acar rebung maupun tulang belulang babi.
2. Berkali-kali masuk angin
Spring datang terlambat tahun ini, kata banyak orang. Memasuki bulan September, seharusnya suhu udara mulai naik pelan-pelan. Tapi enggak, seminggu pertama bulan ini masih dingin banget. Minggu kedua barulah kami kegerahan sambil kibas-kibas ketek yang keringetan dan serius lah panasnya gak becanda. Suhu di luar rumah mungkin sekitar 30 derajat --bisa jadi lebih panas dari kampung halaman saya di Tlogomas karena Malang selalu berawan, sedangkan langit Geraldton biru sejadi-jadinya kayak layar tivi lawas kalo dipencet AV. Mobil kami rusak pula pendingin udaranya, so expect getting in feeling like you habis diababi naga. Sementara itu, hampir tiap siang S dan saya kerajingan belanja di Coles yang mana aisle nya dingin banget kayak mantanmu waktu minta putus. Tiap keluar dari Coles, S dan saya kayak balapan, dulu-duluan mengucapkan kalimat itu...
"Aduh aku kok pusing ya..."
Been busy here, mostly working and napping hehe. Now I'm thinking about writing the rest of his post in Bahasa or in English because I'm trying to block some people from knowing what I've been up to while at the same time I need others to keep up LOL. So yeah Bahasa, that is.
1. Ada orang baru yang pindah ke rumah
Sebelumnya hanya ada lima orang di rumah: S dan saya, sepasang lesbian Hongkong yang sangat murah hati dan laki-laki penjaga rumah yang sering merasakan kemurahan hati mereka: sebut saja Markucel, 36 tahun. Markucel yang mengaku duda 3x dan mempunyai bayi berumur 6 bulan dicomblangi oleh istri bosnya sama seorang gadis Tiongkok utara yang bernama Markonah, 29 tahun. (duh sorry banget deh atas referensi Jawa Pos yang kelewat jelata. Kangen tauk udah beberapa bulan gak baca itu!) Setelah chatting-chatting dari pagi sampai malam, di minggu ke 8 Markucel memutuskan untuk pulang ke Tiongkok dan menikahi Markonah. Singkat cerita, Markonah yang berwajah mirip Asri Welas versi Asia Timur ini pun diboyong ke Geraldton walaupun tidak bisa berbahasa Inggris. Dua orang lovey dovey itu pun hidup bersama walau baru kenal dua bulan. Markonah terbukti mampu mengubah Markucel yang sebelumnya sangat frugal. Jika sebelumya Markucel hanya makan makanan yang didapat dari restoran tempatnya bekerja, kini Markucel tahu nikmatnya ngemil anggur dan granola bar malam-malam. Jika sebelumnya kulkas Markucel kosong melompong, kini kulkas kami pun ikut kesumpelan bahan-bahan makanan eksotis* sebangsa akar teratai beku, acar rebung maupun tulang belulang babi.
2. Berkali-kali masuk angin
Spring datang terlambat tahun ini, kata banyak orang. Memasuki bulan September, seharusnya suhu udara mulai naik pelan-pelan. Tapi enggak, seminggu pertama bulan ini masih dingin banget. Minggu kedua barulah kami kegerahan sambil kibas-kibas ketek yang keringetan dan serius lah panasnya gak becanda. Suhu di luar rumah mungkin sekitar 30 derajat --bisa jadi lebih panas dari kampung halaman saya di Tlogomas karena Malang selalu berawan, sedangkan langit Geraldton biru sejadi-jadinya kayak layar tivi lawas kalo dipencet AV. Mobil kami rusak pula pendingin udaranya, so expect getting in feeling like you habis diababi naga. Sementara itu, hampir tiap siang S dan saya kerajingan belanja di Coles yang mana aisle nya dingin banget kayak mantanmu waktu minta putus. Tiap keluar dari Coles, S dan saya kayak balapan, dulu-duluan mengucapkan kalimat itu...
"Aduh aku kok pusing ya..."
Lalu malamnya kami ditemukan teronggok gak berguna di kamar, saling mengerok leher dan punggung satu sama lain. Di rumah kami yang isinya orang Asia yang tau semua soal kerokan, gak akan ada yang nanya kenapa leher kami bisa ungu-ungu gitu. Pandangan mata penuh tanda tanya dan dugaan cabul mulai dialamatkan ketika kami kerja, atau belanja, atau apalah yang melibatkan ketemu bule. Kemungkinan tersopan: ditanya "Are you alright?" dengan wajah penuh kekhawatiran. Kemungkinan tertidaksopan: dituduh "Is that hickey?" sambil senyum-senyum mesum.
3. Too much of everything is never good
Saya denger kabarnya untuk hidup jadi karnivora di Indonesia sekarang mahal biayanya. Daging tiba-tiba langka dan harganya meroket. Tukang bakso mungkin bisa mempertimbangkan untuk pindah ke Ostrali aja. Di sini daging murah pake banget dan suami saya ternyata suka sekali sama steak ngaco buatan saya (yang bumbu perendamnya melibatkan jus kiwi dan rosemary yang dapet dari iseng mrunthes di depan kantor polisi di Marine Terrace--murni iseng dan gak ada niat vandalisme walau sejatinya juga kami punya tanaman rosemary di belakang rumah). Dua minggu terakhir itu jadilah diet kami hanya muter di sekitaran steak rare, medium dan welldone. Sekitar 3 hari lalu, saya masak sekilo daging dan habis saat itu juga. Malemnya saya mulai sendawa-sendawa terus --dan sendawanya itu bikin saya mual karena ada hint aroma rosemary dan daging dan tumis timun dan kentang tumbuk yang saya makan sebelumnya. Kira-kira tengah malam saya mulai huek huek tidak terkendali di toilet dan keluar semua jejak ketamakan makan malam saya waktu itu. Berwajah pucet pasi dan ingusnya beleleran, saya malah dituduh hamil sama S -___-
4. Mimpi Buruk kayak adegan sinetron itu ada
Pada masih inget kan adegan Bella Swan yang mimpi buruk teringat si vampir ganteng terus bangun kaget sambil teriak histeris? Kalian pikir itu cuman film? Kalian pikir gak mungkin orang bisa sedramatis itu kalo mimpi buruk? Semalam sebelum tragedi kebanyakan makan steak, hal itu terjadi sama saya. Jadi ceritanya kamar kami ini gelap gulita banget kalo lampunya dimatiin karena bener-bener gak ada sumber cahaya lain dari dalam maupun luar rumah. Malem itu sumpah dingin banget sampe saya susah tidur. S sih udah ngorok duluan. Sejam dua jam akhirnya saya ngantuk juga dan S terbangun lalu nyelimuti saya dobel pake 2 helai selimut karena males nyalain pemanas ruangan. Nah, saya gak tau beberapa menit, atau bahkan berapa jam setelah saya diselimuti itu, yang jelas dalam tidur, saya merasa berada di bawah lapisan kain ketat dan gelap dan saya gak bisa menemukan jalan keluar dari dalam situ. Lama-lama saya merasa tercekik dan gak bisa nafas sampe akhirnya saya teriak manggil suami saya untuk menyelamatkan saya. Pada bagian itu ternyata saya gak cuman teriak dalam mimpi, tapi teriak beneran. S langsung bangun dengan panik lalu melepas selimut yang saya pakai. Saya pernah mimpi mati, dikejar setan bahkan kehimpit kapal sandar sebelumnya; tapi gak ada yang semengerikan ini. Rasa tercekiknya bener-bener nyata dan saya pun bangun dalam kondisi ngos-ngosan. Paling sialnya, S bilang pas saya bangun itu dia merasa dilewati bayangan besar yang lebih gelap dari kegelapan kamar kami yang udah gelap itu. Padahal serius deh saya gak pernah lupa berdoa sebelum tidur. Moral cerita? Gak ada. Cuman sekarang saya gak pernah lagi ke kamar mandi sendirian biarpun di siang bolong.
Subscribe to:
Posts (Atom)