Sunday, September 20, 2015

Membangun Rumah Tangga Sakinah

Judulnya kok gitu banget ya? Mringis dulu deh sambil elus-elus pala botak. Salam super!

Sebelum menikah, saya dan S adalah jenis pasangan yang mungkin bikin gerah kalo kalian kelamaan deket-deket sama kami. Kami beberapa kali bertengkar hebat. Walaupun gak sampai main tangan juga, tapi tetep saja ada intonasi tinggi, kadang kala diselingi fenomena ponsel terbang.

Kemarahan saya pada S sering terpicu oleh hal-hal yang sebetulnya sudah lewat, sedangkan S sering marah pada saya karena hal-hal kecil. Soal skripsi yang rampung terlambat bisa bikin saya marah pada S, padahal juga waktu itu dia sudah diwisuda. Gak kalah konyolnya, cuman masalah kepedesan bikin sambel pun pernah membuat S marah pada saya.

Syukurlah Tuhan Yang Maha Baik masih mau mengingatkan kami yang kekanak-kanakan lagi bodoh ini tentang hal itu. Ya saya tahu ini aneh: tapi sebelum menikah, kami sering sekali terperangkap dalam situasi canggung akibat orang bertengkar. Yang teman kami dibentak oleh pacarnya lah, yang si ini berantem sama si itu lah... Pokoknya banyak sekali pengalaman gak enak gara-gara kami terjebak di tengah dua orang yang marah-marah.

Kami tidak pernah berdiskusi mengenai hal itu lagi. Mungkin kami berdua merasa sama-sama tahu tanpa saling membicarakan. Mungkin juga jarak ribuan kilometer di antara kami selanjutnya yang mengajari kami bahwa hubungan yang kalem adalah hubungan terbaik.

Di hari pernikahan kami, seorang tante saya yang baik mengingatkan saya untuk berdoa bersungguh-sungguh setelah akad selesai dilaksanakan. "Banyak malaikat menyaksikan", katanya, "minta apapun yang kamu inginkan". Lalu saya pun berdoa bersungguh-sungguh kala itu. Bukan harta yang saya minta terutama. Saya hanya meminta agar rumah tangga kami nanti sakinah; penuh ketenangan dan kedamaian.

Mungkin terlalu dini untuk mengatakan bahwa perjalanan kami yang baru lima bulan ini sakinah, tapi kami sungguh bersyukur. Tidak pernah sehari pun kami bertengkar: besar maupun kecil. Tidak pernah satu kali pun. Kerikil-kerikil pasti ada di sepanjang jalan, tapi kami selalu menemukan jalan beraspal mulus tampaknya. Emang sih, pernah sekali saya kesal gara-gara saya masak ayam: sudah ayamnya lebih mahal dari biasanya, bumbunya ala-ala India dan saya panggang lama sekali, S menolak makan ayam tersebut. Ayamnya jemek, dia bilang. Pernah pula suatu hari saya membongkar lemari pakaiannya yang mulai penuh, lalu membuangi beberapa baju yang saya anggap sudah tidak layak pakai tanpa sepengetahuannya.

Kami bisa saja marah meraung-raung akibat hal-hal tersebut: saya masak bahkan tanpa sempat mengganti baju kerja saya karena saya ingin S bisa makan siang tepat waktu; S juga bisa saja meneriaki saya karena beberapa baju yang saya buang ternyata adalah baju-baju yang memiliki cerita emosional yang lekat bagi dia. Tapi, alih-alih marah, saya berikan chicken tandoori itu pada tetangga yang ternyata gembira sekali memakannya. S pun begitu: dia hanya bilang bahwa lain kali saya perlu memberi tahu dia sebelum membuang pakaian apapun.

Ada orang yang bilang hubungan kami ini tidak sehat hanya karena kami tidak pernah berdebat. Bukan saja kami anggap idenya tidak brilian: kami juga iba pada pemikiran semacam itu. Bertengkar dalam skala apapun: besar, menengah maupun kecil tidak pernah baik bagi kesehatan mental manusia manapun. Terlepas dari ujung-ujungnya baikan lagi atau malah menjadi bibit dendam, bertengkar hanyalah radikal bebas yang membuat hubunganmu dengan pasanganmu menua lebih cepat, dengan keriput-keriput dan flek-flek hitam yang tidak sedap dipandang: atau didengar. Oleh orang-orang tidak bersalah yang apes karena kebetulan berada di sekitar kalian ketika kalian saling membentak atau menjambak.

Bertengkar memang nikmat sesungguhnya. Saya tahu persis rasanya: seperti membiarkan diri kita terseret oleh arus emosi yang sangat kuat, kemudian untuk sesaat merasa lega. Marah-marah memang mampu membuat kita merasa memiliki otoritas atas orang yang kita marahi. Tapi benarkah begitu? Saya kurang yakin atas kebenarannya, mengingat rasa lega yang kita rasakan hanya sementara sedangkan penyesalan yang datang belakangan malah sering lebih intensif dalam menyiksa batin kita. Sebelum memulai pertengkaran, saya punya usul supaya kita menimbang-nimbang dulu: relakah kita mengorbankan ketenteraman dan kedamaian rumah tangga kita yang hebat (anggap saja hebat, biar lebih sesuai konteks) demi kekacauan temporer yang berpotensi mencederai hubungan kita secara permanen?

Dalam hubungan dua orang manusia fana yang bahkan saling mengasihi, saya yakin tidak pernah ada kesempurnaan. Karena sudah sama-sama mau dinikahi, boleh kan diasumsikan bahwa dua orang tersebut sudah tahu sama tahu tentang kekurangan masing-masing dan ikhlas menerima apa adanya? Mekanisme sakinah sangat sederhana sebetulnya: suck up your pride and discuss like grownups. Tidak perlu saling mendebat apalagi meneriaki. Yang namanya feedback kan bisa diberikan dengan kata-kata yang lemah, walau saya tetap usul agar kita membenahi diri sendiri dulu sebelum teliti mengobservasi cela orang lain.

Dan sedikit cerita saja: akhir-akhir ini Markonah dan Markucel (maaf atas referensi Jawa Pos saya: coba baca cerita tentang mereka di pos ini) sering sekali ribut. Karena kamar mereka berseberangan dengan kamar kami, jelas dong kami bisa denger dengan jelas teriakan-teriakan Markonah dan suara tabokan yang dia layangkan pada suaminya hingga akhirnya dia minggat ke rumah sepupunya minta dijemput di tengah malam buta seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Aib tetaplah aib dan kami pun menyayangkan kejadian itu, tapi kami tidak bisa mengabaikan bagaimana orang-orang lain di rumah ini terimbas oleh tingkah polah mereka: terganggu waktu tidurnya, kesal dan menyumpahi mereka dengan buruk.

Rasa tidak nyaman yang ditimbulkan oleh pertengkaran orang lain memang sangat besar hingga kami akhirnya sampai pada kesimpulan: Tidak ada seorangpun yang tertarik pada masalah kita. Tidak perlu makanya kita bertengkar dan tampak di depan mata orang lain karena sesungguhnya they don't give a sh*t atas apapun yang terjadi pada kita. Jadi jika lain kali (ketok-ketok meja, naudzubillahi min dzaalik) kami betul-betul kesal pada satu sama lain, semoga kami tetap ingat akan hal itu sehingga terhindar dari mempermalukan diri sendiri dan menghancurkan kedamaian yang susah payah kami bangun dalam rumah tangga seumur jagung ini :))

Salam super lagi!

Tulisan ini adalah hadiah pernikahan untuk dua orang kawanku yang baru saja menikah dan yang akan segera menikah. Yang baru saja menikah adalah orang yang memberitahu saya arti kata "sakinah" --yang ternyata berakar dari kata sukun (=ketenangan; kedamaian) dalam Bahasa Arab. Semoga rumah tanggamu sakinah pula, Kawan!
Yang akan segera menikah adalah Riza dan Bang Reza. Dari namanya aja udah ketauan kan kalo cocok. Suit suiiiiit!

No comments: