Monday, September 21, 2015

Menikah Tanpa Resepsi

Baca juga dalam serial nikahan ini:
Cerita Tentang Seserahan
Cerita Tentang Mahar
Biaya Menikah Tanpa Resepsi

D I E D I T  P A D A  1  M E I  2 0 1 6:

Gak nyangka ternyata pos ini sudah dibaca ribuan kali sejak pertama ditulis pada bulan September tahun lalu. Entah kenapa, ternyata cukup banyak orang yang memasukkan kata kunci "menikah tanpa resepsi" dan sejenisnya di Google dan akhirnya terjebak di blog ini :) Pos ini sebetulnya cuman bertujuan sebagai klarifikasi berkedok iseng karena waktu itu saya dan suami saya menikah pada 14 April 2015 di Malang dan lusanya kami sudah makan siang di Perth. Beberapa minggu setelahnya ibu saya menghubungi saya dengan gemes-gemes geram karena beberapa orang kenalannya dengan frontal maupun pake kode mengira pernikahan kami yang (bagi mereka) seperti tergesa-gesa dilatarbelakangi adanya KECELAKAAN yang mengharuskan saya SEMBUNYI dari khalayak ramai dengan modus seolah-olah saya sedang ada di luar negeri. Bahkan baru beberapa belas minggu kami menikah, ibu saya sudah ditodong pertanyaan "Tia udah lahiran?"

Tergesa-gesa? Ih itu lucu banget karena siapapun yang kenal kami cukup dekat pasti tahu bahwa setahun sebelumnya, kami sudah pasang pengumuman lisan di seantero benua bahwa kami akan menikah di tahun 2015. Yang gak tahu ya karena berarti gak cukup dekat aja kenalnya :)

Baca juga
1. Tips Liburan Murah ke Bali bagian 1
2. Tips Liburan Murah ke Bali bagian 2
3. Tips Liburan Murah ke Bali bagian 3
4. Tips Liburan Murah ke Bali bagian 4
5. Tips Liburan Murah ke Bali bagian 5


Kami nggak marah karena wajar manusia menyukai sensasi, apalagi kalo sensasinya jelek kayak anak orang gak ada angin, gak ada ujan taunya MBA. Apalagi kemudian ilang beberapa waktu alasannya pergi ke luar negeri. Emang agak susah dipercaya sih ya. Tapi, maaf ya kalo saya bikin para biang gosip kecewa, cuman saya nggak nikah karena ada apa-apa duluan kok. Sampe detik ini di setahun pernikahan saya belum juga hamil malah :)


Bagi saya pernikahan begitu membahagiakan hingga saya merasa tidak perlu menundanya begitu kandidat telah datang dan sudah sama-sama bersedia berkomitmen. Selepas lulus kuliah, S pun pergi merantau lalu memutuskan untuk melamar saya. Ayah ibu saya pun baik-baik saja dengan ide ini. Mereka sebagaimana orang tua lain yang anaknya akan segera menikah, justru lebih berkonsentrasi memikirkan hal-hal seremonial yang jamak menjadi tetek bengek perkawinan. "Gimana nanti resepsimu?" "Aku perlu siap uang berapa?" "Kamu mau di gedung anu gak, soale aku dapat diskon?" ---adalah segelintir pertanyaan yang diajukan ayah saya ketika omongan tentang perkawinan mulai santer terdengar di rumah.



Saya adalah anak perempuan sulung. Mudah bagi saya untuk berempati pada kedua orang tua saya yang merasa punya kewajiban untuk menikahkan anak sulungnya dengan layak --dan dengan layak yang dimaksud tampaknya adalah menyelenggarakan pernikahan yang pantas dalam skala mereka sebagaimana orang memandang (whatever it means). Tapi, bagaikan ucapan Shakespeare dalam Hamlet, saya banyak meragukan hal-hal di sekitar saya. Perlukah saya menikah dengan resepsi mahadaya? Perlukah kami mengundang orang berpesta sementara saya dan S pun masih tertatih menapaki jalan baru yang kali ini hanya kami berdua pelakunya? Lebih-lebih saat itu, S hanya punya 3 hari untuk kembali ke Malang sehingga semua waktu persiapan menjadi sangat mepet untuk mengorganisasi resepsi besar. Di lain sisi, saya pun sebagaimana gadis-gadis 90an produk Disney, barang tentu punya bayangan akan pernikahan impian di mana saya memakai baju putih panjang bertabur kristal di suatu gedung megah sambil memutar lagu Beautiful in White. Ibu saya sudah lama mengumpulkan kartu-kartu undangan yang diperolehnya, kalau-kalau nanti kami tertarik pada salah satu desainnya. Ayah saya apalagi, akhir-akhir itu bekerja sangat keras dan entah main-main atau serius, sering sekali mengatakan "untuk nambah-nambah uang resepsimu"



Tapi sungguh saya dan S memang kadang suka keterlaluan dalam mendobrak batas. Saya tidak anjurkan hal ini untuk dilakukan semua orang --cukup saya dan orang-orang yang setuju saja yang melakukannya. Bukan hanya saya bersedia pasang badan untuk berargumen dengan ibu serta nenek-nenek saya perihal penolakan keras saya untuk menikah "dengan tanggal yang baik" (masih ada gak sih yang percaya gituan di tahun 2016 ini?), saya juga berusaha meyakinkan orangtua saya bahwa, 'ayolaaah...buat apa sih kita diperbudak terus sama tradisi? Sekali-kali perlu kita paksa tradisi untuk manut pada logika kita'.

Percayalah, tidak selalu mudah untuk membuat orangtua kita setuju pada tindakan se-abnormal itu. Mungkin saya perempuan pertama dalam keluarga besar kami yang pernah punya ide sebandel itu. Tapi saya sangat mengapresiasi bagaimana orangtua saya lalu membuka pikiran lebar-lebar dan bersedia menampung usul saya yang tidak umum itu.


Melihat ayah saya di ambang setuju di detik-detik terakhir, banyak kemudian orang yang lalu me-negasi pemikiran kami. Yang dijadikan argumen tentu saja posisi ayah saya yang saat ini sedang bagus (whatever it means) dan bahwa saya meletakkan ayah saya di tempat yang buruk dengan memaksanya mengadakan pernikahan untuk anak sulung yang terlalu apa adanya (whatever it means).

Ketika suasana hati saya sedang baik, saya akan coba menjelaskan bahwa saya ingin pernikahan kami nyaman dari awal sampai akhir. Berpesta seharian yang biayanya bisa jadi setara mobil baru, hanya demi meninggalkan semua itu keesokan harinya untuk mengejar penerbangan ke Perth tentu tidak akan membuat saya nyaman secara fisik dan mental.

Tapi memang beberapa waktu menjelang pernikahan, suasana hati saya memang tidak terlalu baik (insomnia menahun, Jakarta-Bekasi-Malang pp, visa, foto thorax, KUA, semua urusan tiket domestik/internasional, dan begitu banyak hal lain yang harus saya pikirkan sendirian) sehingga kadang respon saya bisa jadi agak menjengkelkan. Jika ada yang membawa-bawa jabatan lagi untuk membuat saya berubah pikiran, besar kemungkinan jawaban saya akan semacam "Ah bagus dong kalo orang sudah tau kondisinya begitu, jadi kalo gak ada resepsi kan kita gak akan dituduh kurang uang". Kasar. Sejadi-jadinya. Saya tahu itu.

Saya mohon maaf atas kekasaran saya waktu itu.

Nabi kita yang mulia bersabda agar orang yang menikah/menikahkan orang lain mengadakan pesta walaupun hanya dengan memotong seekor kambing. Kami tentulah tidak ingin mengabaikan sama sekali anjuran seelok itu. Bagaimanapun, pernikahan kami adalah pernikahan baik-baik yang ingin kami kabarkan pada semua orang, bukannya kami tutup-tutupi. Maka, pada saat akad itu kami buat pula syukuran sederhana yang dihadiri tetangga, saudara, kerabat kami serta kolega ayah ibu saya. Kami mungkin tidak tahu rasanya linu-linu selepas resepsi di gedung, tapi mempersiapkan pernikahan dalam waktu sesingkat itu sambil mengurusi hal-hal lainnya saya rasa sudah cukup mewakili.



Memang tidak serta-merta orangtua saya mengubur keinginan untuk membuat resepsi yang lebih baik (whatever it means) bagi kami. Beberapa kali masih mereka berusaha membujuk kami untuk mengadakan pesta besar di bulan Oktober besok, atau mengucapkan kalimat semacam "Batal ya resepsinya? Yaudah bagus, uangnya bisa tak simpen buat beli anu" untuk menggoda kami agar kami berubah pikiran. Bagi kami toh, no way. We're already sooo married now. Rasanya sudah super basi, saya sudah kadung pernah dihamili suami saya, dan palingan juga gitu-gitu aja linunya nyalami ratusan, bahkan ribuan orang di gedung gede manapun (bayangkan saja halal bihalal di lapangan pas masih sekolah).

Bagaimanapun juga, hingga saat ini pun saya masih terpukau atas betapa sehat dan bijaknya orangtua saya menyikapi permintaan nikah tanpa resepsi anak yang dari kecil kelakuannya susah diduga ini. Kami belum tahu bagaimana sesungguhnya perasaan mereka atas hal ini, tapi mudah-mudahan mereka baik-baik aja sama ini semua.

E D I T  B A G I A N  2:

Bahkan sampai di akhir pos, saya gak menjelaskan dengan gamblang ya kenapa saya akhirnya memutuskan untuk menikah tanpa resepsi? Jadi gini, sebelum berangkat ke Oz, sebetulnya kami dan keluarga sudah sepakat untuk mengadakan resepsi di suatu waktu di akhir tahun 2015 atau awal 2016. Kenapa gak langsung aja setelah akad resepsinya? Karena demi Tuhan waktu itu semua tiket pesawat dan hotel sudah dipesan dan dibayar, jadi sayang kan kalo harus hangus karena maksain resepsi saat itu juga. Konyolnya kemudian setelah hidup berdua sama S, kami tiba-tiba berubah pikiran dan males ribet lagi pesta-pestaan untuk pernikahan yang bahkan udah sah berbulan-bulan lalu. Saya dan S ini prinsipnya jangan mau ribet kalo bisa santai. Terus mau ngulang lagi gitu urusan ngubungin katering, cari penjahit sama cari perias? Makasih, tapi dari pada gitu saya pilih tidur siang aja. Ih tapi jangan dikira orang tua saya gak heboh banget tiap minta supaya mereka bisa bikin resepsi untuk kami ya: HEBOHNYA UDAH AMPUN-AMPUNAN sampe pantes diketik pake huruf kapital semua. Cuman hmm gak deh. Gak ada efeknya juga mau resepsian atau engga, karena tetep aja saya insomnia dari 2006: udah 10 tahun gak sembuh-sembuh. Pffftt.

E D I T  B A G I A N  3
Tulisan ini memang bisa bikin interpretasi macam-macam ya. Saya bukannya antiresepsi loh. Resepsi besar itu baik, tanpa resepsi besar juga baik. Janganlah tulisan ini dianggap sebagai saya menolak ide di balik resepsi besar orang lain. If you like it, go for it. Seandainya waktu itu saya tidak dikejar tiket untuk segera terbang ke Ostrali, saya pasti sudah resepsian saat itu juga setelah akad. Tapi kondisinya gak memungkinkan saat itu, dan di saat orang tua saya menagih resepsi ketika saya balik ke kampung halaman, ternyata saya dan suami kadung males repot. Jadi, anggaplah tulisan ini sebagai cerita behind the scene orang yang nikah tanpa resepsi besar, bukannya cerita tentang orang yang kampanye antiresepsi. Ok ok ok? Thank you...

1 comment:

Unknown said...

baru baca blog ini.
mau tanya dong mbak, terus buat ngundang teman" tetap pakai undangan tidak ya ?