Monday, March 21, 2016

I'm Back

Sungguh jika seandainya kemarin saya tidak membaca pesan seseorang melalui instagram saya, saya juga nggak mau lagi nulis di blog. Pengalaman mengajariku dengan cara yang agak kurang santun [misalnya dari celoteh teman-teman di grup chatting] bahwa orang yang agak kurang banyak bertindak di kehidupan nyata tapi banyak bicara di dunia maya biasanya berakhir jadi bahan olok-olok massal. Makanya senyampang masih belum jadi apa-apa, niat saya awalnya mau diam-diam saja hidup underground ketimbang jadi begini nih...


 
Setelah kembali ke Malang, serentetan kejadian tiba-tiba gak memungkinkan saya untuk aktif di dunia maya. Pertama, nomor IM3 saya kedaluarsa karena gak pernah diisi ulang selama saya ada di luar negeri. Padahal itu nomor kesayangan; angkanya sedikit dan mudah diingat. Matinya nomor ini memicu kesialan nomor dua, yaitu beberapa akun sosial media yang menolak dibuka karena ternyata diset dengan verifikasi nomor ponsel luar negeri saya yang barang tentu tidak aktif di Indonesia. Ketiga, hape renta saya yang sudah terseok selama 5 tahun akhirnya menemui ajal juga. [Janganlah terlalu risau, sebab benda mati pun punya ajal layaknya ajal manusia] Memang bukan secara harafiah mati dengan layar hitam, tapi memorinya sudah gak sanggup lagi menampung pembaharuan aplikasi apapun dari Google Play. Praktis, bahkan Whatsapp dan Opera pun terpaksa saya copot. Sekarang mana bisa saya berhubungan dengan dunia luar? Saya bahkan belum sempat berpamitan dengan ibu-ibu di Geraldton perihal kembalinya kami ke Indonesia dan itu bikin saya sedih.

Yang usul agar saya beli ponsel baru sudah semua saya kecewakan. Gak elok beli barang baru sementara kondisi masih begini. Hitung-hitung ini tirakat; hidup seolah primitif lagi tanpa adanya ponsel. Kalo ada yang pengen tahu gimana rasanya hidup tanpa pongsel, yuk sini Dek Tia kasih tahu bahwa rasanya persis martabak rasa matcha...

...cuman tanpa matcha; juga tanpa martabaknya.

Dan sekalian saya ungkap sedikit fakta baru bahwasanya buka instagram dari laptop itu bisa dianalogikan seperti mengayuh sepeda statis: you capek genjot but you gak akan pergi kemana-mana.

Tapi saya harus terus bikin pos. Syahdan, suatu ketika di dekat rumah nenek maternal saya, sepupu dari suami adik perempuan ibu saya [yang gak punya koneksi media sosial dengan saya dalam bentuk apapun] menyapa saya dengan "Halo Tia, sudah di Malang ya? Kapan isi lagi? Aku ngikuti blogmu lo." which makes it safe to assume that I've been drawing wrong attention from wrong target audience.

Hehehehe

Sisi baiknya adalah blog keluh kesah gak bertema ini dibaca oleh banyak sekali orang, termasuk beberapa perempuan baik yang tidak mengenal saya, namun menyempatkan waktu menyapa saya di instagram [@amaliasardjono], dan dengan baik hatinya mengabari saya bahwa mereka membaca tulisan-tulisan saya dari platform ini. Dan itu mengharukan. Knowing there are people who actually read your pieces of thought and enjoy it is mengharukan, tau nggak.

Apalagi saya juga menikmati waktu ketika saya menulis. Kadang, dalam pikiran yang liar ini, saya berpikir MUNGKIN... mungkin saya bisa membawa sedikit perubahan lewat tulisan-tulisan ini. Mungkin, suatu saat... ketika saya berhenti berkeluh kesah di sini dan menulis yang positif-positif... mungkin saya bisa membuat sesuatu yang baik dari yang sebelumnya kurang baik. Mungkin ada setitik kalimat saya yang membuat orang berubah pikiran dan dapet inspirasi. Mungkin. Namanya juga berandai-andai.

So,
pembaca-pembacaku yang budiman, baik yang sudah kuduga maupun yang tidak kuduga, yang langganan baca maupun yang one night stand, sempatkanlah buang-buang waktu barang sebentar di sini because Dek Tia is back [dengan keluhan-keluhan dan pikiran yang seringnya tidak runut] karena kaliaaan...

[sambil dadah-dadah dengan girang berasa beken] [padahal gak]

No comments: