mbok ya sesama negara berkembang jangan saling merepotkan gitu lo - negara sebelah yang maju aja bebas visa ke kita.
Yang awalnya dikira akan makan waktu 15 menit ternyata molor jadi sejam lebih dan saya yang udah cakep (*barf) tapi lapar ini memutuskan untuk nulis blog dengan tema impulsif.
Saya pengen ngobrol sama kalian soal jodoh. Heran saya sama media sosial jaman sekarang...gencar ya ngomongin jodoh. Ini itu ngegalau jodoh. Ini itu ngetawain jomblo. Kesannya dapet jodoh itu keren, terus yang jomblo itu engga laku.
Saya suka sedih kalo merenungkan orang yang membuat kesan seolah-olah dapet jodoh itu keren dan jomblo itu engga laku (I'm staring at you, Meme Makers!). Alasannya jelas: jodoh itu di tangan Tuhan. Urusan kita dapet jodoh siapa, di mana, dan kapan itu semua Allah yang memutuskan. Sesungguhnya kita tidak punya kuasa apapun dalam rangka pencarian jodoh tersebut kecuali memantaskan diri dan berdoa.
Kalo kita hanya bisa memantaskan diri dan berdoa, emang bisa gitu ketemu jodoh? Saya yakin bisa. Yang saya curigai selama ini adalah manusia-manusia jaman sekarang suka overthinking soal jodoh. Semuanya dipikir kejauhan: Bener gak ya dia jodohku? Apakah kami ditakdirkan bersama? Apa mungkin jodohku bukan dia? Gimana kalo jodohku datang belakangan? Gimana kalo aku engga bener-bener cinta sama dia? Gimana kalo entar aku menyesal?
Jangan berat-berat mikirin jodoh, Tsay :D
Jodoh itu sederhana karena yang namanya hati itu bisa tumbuh. Aisyah Radhiyallahu Anh yang masih anak-anak engga mikir kejauhan waktu dinikahkan ayahnya dengan Baginda Rasulullah dan menjalani hidup yang bahagia hingga akhir hidup Rasul. Itu kenapa menurut L? Kata G sih karena cinta itu adalah salah satu jenis perasaan - dan perasaan manusia itu sesungguhnya hanya ilusi.
Kalo contoh soal ummul mukminin dan Rasulullah terlalu ekstrem, coba sini saya kenalin sama kisah kakek nenek saya. Nenek saya Bu Mud dilamar kakek saya Pak Soleh ketika usianya baru 9 dan tidak mengenal satu sama lain. Mereka hidup saling mengasihi lebih dari 40 tahun hingga kakek saya kembali ke tempat asalnya lebih dulu. Kisah cinta kakek nenek ini sangat klasik. Saya yakin kalian semua tahu paling tidak satu kisah yang sama tentang kakek nenek kalian sendiri atau mungkin kakek nenek orang lain.
Sebetulnya, cinta itu - sebagaimana produk hati kita yang lain - diciptakan oleh entitas yang sama yang juga menciptakan hidup kita, rambut kita, mata kita dan hal-hal luar biasa yang bahkan tidak pernah kita lihat sebelumnya. Entitas luar biasa itu yang memerintahkan kita untuk menyegerakan bertemu jodoh, Dia pula yang akan memastikan kita punya cadangan cinta untuk membahan bakari kelangsungan perjodohan kita. Rasanya gak cukup saya ulangi: hati kita itu lemah sekali, Say. Bisa kok kita dari benci tiba-tiba jadi suka banget, dari suka banget tau-tau benci banget. Kalo gak bisa mah gabakal kali jadi bahan cerita generik judul-judul FTV.
Usul saya, jangan kepanjangan menilai cinta. Cinta itu bukan curah hujan; bukan kepadatan massa tulang; bukan pula jumlah penduduk yang bisa kita ukur pake meteran. Cinta itu cuman serangkaian reaksi kimia di otak yang muncul akibat stimulasi tertentu dan bisa banget berubah. Dikiranya perempuan lihat laki-laki bekerja keras gak akan jatuh cinta. Dikiranya perempuan diperlakukan baik sama laki-laki gak akan jatuh cinta. Dikiranya perempuan sering ngobrol sama laki-laki gak akan jatuh cinta. PASTI AKAN JATUH CINTA, bray. Apalagi tiap hari bobo di kasur yang sama, ngobrol topik yang sama, lalu menghasilkan anak yang sama.
Ada baiknya kita pikir-pikir lagi: apakah pemahaman kita selama ini tentang cinta itu murni? Apakah sebetulnya pemahaman kita sudah terkontaminasi westernisasi terselubung dari lagu, film, dan pop culture impor lainnya? Cinta itu nggak yang begitu kok: bukan melulu soal fisik dan perasaan terbang ke langit ke tujuh. Kadang kita gak sadar terjerumus rayuan setan untuk mendekati hal-hal yang dilarang oleh Pencipta Kita. Pacaran sampe 5 taun udah kaya kredit motor gak taunya
Terus, kalo jodoh udah ketemu, jangan berat-berat ya menghayati makna pernikahan. Pernikahan itu ibadah: kita kerjakan karena itu perintah Allah. Jadi, nggak usah jauh-jauh menghayati yang namanya cinta. Jangan sampe sibuk mikirin "aduh aku teh engga cinta-cinta amat sama suamiku/isteriku" terus jadi lupa kewajiban kita sebagai subjek rumah tangga ((subjek wkwk)). Kayaknya perlu kita ingat bahwa perasaan manusia ini fana. Konsentrasi kita mestinya sama apa yang kudu kita kerjakan, bukan sama apa yang kita sedang rasakan.
Ini essay udah makin ngaco. Biar tambah ngaco lagi, saya tambahin keluhan soal media sosial - yang lagi-lagi - menciptakan opini orang tentang orang yang mengumumkan pernikahan seolah-olah adalah orang yang menyombongkan dirinya yang laku lebih dulu. Malah ada akun sosmed yang bilang bahwa menceritakan cerita-cerita pernikahan itu kayak mengejek tipis-tipis yang belum nikah. Heloh heloh heloh, nikah itu cuman siklus, Tsay :D Gak ada bedanya seperti lahir dan mati. Emang kalo kita cerita soal bayi lahir dan orang mati artinya kita pamer gitu?
Di tulisan yang panjang ini saya cuman mau berbagi pikiran saya terhadap kaum jombs dan kaum yang sudah menikah di luar sana, overthinking itu bikin sedih. Kita kerjakan aja porsi kita masing-masing dalam hidup ini dan meniatkannya sebagai amal. Nanti di kehidupan yang lain, nggak ada lagi kok orang jombs. Baik yang sudah nikah maupun belum nikah juga akan dikumpulkan dengan orang-orang saleh yang dicintainya di dunia. Insya Allah.
<rambling ends here>