Sebelum menikah, kami memang sudah blak-blakan mengenai apa-apa yang kami punya juga apa-apa yang kami tidak punya. Jumlah uang S yang dia miliki sebelum dia menikahi saya itu saya tahu persis. S juga begitu, dia tahu dengan pasti berapa jumlah tabungan yang sudah saya kumpulkan sebelum saya menikahinya. Ketika kami akhirnya hidup serumah, gak ada kaget-kagetan lagi soal finansial dalam rumah tangga kami.
Karena tidak ada wacana untuk berpoligami (yang mengharuskan dua dapur mengepul di saat yang sama), maka kami sepakat bahwa seluruh pemasukan dari pintu mana pun akan kami kelola bersama. Beberapa pasangan di muka bumi ini memilih untuk menganut sistem "uang belanja untuk istri" yang konsepnya--karena satu dan lain hal--agak sulit kami mengerti, apalagi kami jalankan. Untuk apa kami saling menutup-nutupi dan menyimpan uang bagi diri sendiri jika seandainya uang itu kami tunjukan, kami toh juga gak akan menilep dari satu sama lain.
Oleh karena itu, kami menganut sistem "uang bersama untuk istri dan suami". Praktiknya, kami kumpulkan seluruh pemasukan di satu reservoir. Setelahnya, kami alirkan dana-dana tersebut berdasarkan penganggarannya, misalkan anggaran belanja dapur, bahan bakar, kosmetik, tabungan, dll. Jika suami saya butuh uang untuk beli sepatu atau saya butuh uang untuk beli sabun misalnya, uang itu siap untuk dimanfaatkan oleh siapapun dari kami. Intinya, uang S adalah uang saya, uang saya adalah uang
Kadang jika kami ceritakan ini pada orang lain, kami akan dinilai terlalu perhitungan soal duit. Saya gak ngerti di mana letak kesalahan orang perhitungan. Orang kikir itu salah, tapi kan perhitungan itu gak sama dengan kikir. Kikir itu tidak membelanjakan uang di saat uang memang harus dibelanjakan, sedangkan perhitungan itu mengelola uang secara tepat supaya bisa selalu membelanjakan uang di saat yang seharusnya. Lagipula selama hitung-hitungan kita gak mengurangi harta orang atau merugikan hak orang lain, kan gak ada masalah toh? Saya dorong diri saya sendiri untuk selalu terbuka pada S termasuk urusan duit-duitan agar kami terbiasa saling menjaga kepercayaan. Gak cantik rasanya kalo rumah tangga harus diletakkan di atas pondasi intransparansi.
Bagi yang selama ini belum dalam modus siaga, sini coba saya kasih tau kabar buruk bahwa laki-laki yang diam-diam kawin lagi tanpa izin istri legalnya biasanya suka sembunyi-sembunyi soal urusan duit. Istri gak pernah tahu pendapatan suami berapa berapa, ya jelas aja gak bakal pernah juga tau larinya kemana. Ternyata gaji sebulan cepek tiao, jatah bulanan istri jicap tiao. Sisanya? Bayar kredit sama belanjain istri muda. Ya jangan tanya saya menyimpulkan dari mana juga ya. Saya kan anaknya suka mengobservasi. "Lu orang gue belanjain segini sebulan cukup ya? Sisanya gue pegang buat jaga-jaga. Entar kalo gue butuh apa-apa di luar kan malu kalo gak ada duit." Lima tahun kemudian rumah digedor perempuan yang minta pengakuan karena anaknya gak bisa masuk TK. Kan sapi. Ya ini bukan berarti saya antipoligami sih, cuman seandainya suami saya kawin lagi sembunyi-sembunyi lalu tiba-tiba dilindas truk, kemungkinan besar yang nyetir truknya itu saya.
Selain itu, keuangan yang pengelolaannya gak transparan juga gampang morat-marit loh. "Ah, gak mungkin lah duit morat-marit hanya karena gak ngasih tau istri." Amacacih? Jaman sekarang banyak loh manusia waras tiba-tiba edan temporer karena merasa mendapat ilham yang ternyata hanya brilian bagi pikirannya sendiri. Gadai sertifikat rumah buat bikin pabrik pupuk pipis kucing, trading forex pinjem modal lintah darat, beli tanah 7 hektar di dusun jin buang anak, invest di PT anu-anuan dengan janji revenue 169% per bulan... you name it banyak banget kan keputusan-keputusan gila yang bisa saja diambil orang ketika gak ada orang waras yang diajak berdiskusi dan mengingatkan risikonya? Mending kalo bangkrut-bangkrut sendiri, kalo sampe bangkrut terus semua aset termasuk punya pasangan disita, apa gak nyaho tuh namanya?
Yang paling parah--amit-amit jabang bayi getok-getok meja 69 kali--intransparansi keuangan itu berpotensi besar bikin ribut dan retak rumah tangga. "Gak mungkin kali rumah tangga jadi korban cuman gara-gara aku bawa duit sendiri. Aku gak diem-diem kawin lagi; aku juga nggak pernah percaya investasi bodong!" Jangan terlalu yakin lah, Bang. Inget, intransparansi itu konotasinya ketidakjujuran. Sekali pasangan kita mengendus bahwa kita punya sedikit saja potensi untuk gak ngomong terus terang, mudah lo bagi dia untuk mengasosiasikan tindakan-tindakan mencurigakan kita sebagai kebohongan. Mending kalo gak jujur tapi duit belanja ngalir terus: takutnya tuh pas emang gak ada uang dan bener-bener gak bisa ngasih duit belanja, ternyata istrinya mengira suaminya bohong. Dikiranya duit abis buat judi gaple atau ngongkosin perempuan, padahal bisnisnya gulung tikar. Ujung-ujungnya digugat cerai. Walah!
Makanya yah, kami berusaha mati-matian supaya keterbukaan moneter itu selalu jadi bagian dalam rumah tangga kami. Prinsip kami: trust is earned, not given. Kami sadar bahwa rasa percaya (pada siapapun) gak bisa kita berikan begitu saja. Kepercayaan itu harus dibangun dan dipupuk setiap hari: dari gak percaya lalu jadi percaya dan makin percaya. Bohong kalo lihat kondisi dunia tambah gila kayak gini dan kita masih gak parno pasangan kita gak bakal begini begitu di belakang kita. Ih, kalo emang gak percaya sama pasangan, buat apa kalian nikah? Nggg iya juga ya, ngapain dulu aku nikah sama kamu ya? Hehe, bukan gitu keles logika kami. Pernikahan dan orang-orangnya itu tumbuh. Dalam rumah tangga, penting bagi kami untuk memastikan bahwa kejujuran dan kepercayaan turut tumbuh di dalamnya dengan cara terus mengamalkannya tiap hari. Ilmu yang gak diamalkan biasanya hilang loh. Contoh: saya dulu bisa lo nempelin jempol kaki ke muka, tapi sekarang udah gak bisa lagi soalnya gak pernah diamalkan. Oke ini bukan lawak dan emang kurang lucu but you paham kan maksud ai?
Next, terbukti dalam rumah tangga kami bahwa keterbukaan finansial telah menyelamatkan kami dari banyak krisis. Problemnya tuh gini yah, laki saya ini kalo udah pegang duit bawaannya pengen beli pakaian dan makan di luar terus. Sedangkan saya, hmm saya suka bangetbangetbanget sama skincare dan my current addiction adalah Korean skincare. Dangkal semua, iya saya juga tahu. Makanya saya lancar banget kan kalo udah mulai nulis soal antigengsi-gengsian: tulisan saya soal jangan sok gengsi itu refleksi kecenderungan diri kami sendiri hahaha. Gitu. Lanjut. Kesukaan-kesukaan kami itu sifatnya konsumtif. Konsumtif itu tidak baik bagi neraca keuangan. But, karena kami saling terbuka soal uang dan pengeluarannya, saya selalu bisa ngingetin S untuk gak sering-sering nangkring dan beli baju. Begitu pula sebaliknya, S juga akan selalu menegur saya kalo mas-mas JNE udah keseringan ngapel di depan rumah. Coba kalo kami kebiasaan ngumpet-ngumpet dan gak saling mengontrol, tinggal kenangan kali itu duit hasil susah payah.
Trus, karena kadung bawa-bawa sakinah sebagai judul yah, perlu saya tekankan bahwa transparansi keuangan telah berperan besar dalam menjaga ketenangan dan kerukunan dalam rumah tangga kami. Kami sudah melewati banyak roller coaster neraca: dari defisit, ke seimbang, ke surplus. Apa sih yang membuat semuanya mudah? Jawabannya ya jelas transparansi itu tadi. Ibaratkan aset sebagai kekuatan. Mengetahui apa saja dan seberapa banyak kekuatan berdua, kita jadi punya kendali ganda untuk merancang rencana dan memitigasi hal-hal buruk yang mungkin menghadang di depan. Konkretnya sih kalo tau ada duit, kita bisa menganggarkan tabungan yang lebih banyak. Sebaliknya, kalo pas terancam defisit ya ancang-ancang beli Indomie sekarton dulu wkwkwk. Jadinya seneng susah itu dinikmati berdua. Karena kompakan menjalani bersama, kita jadi akan lebih pengertian satu sama lain; lebih sayang gitu. Kalo udah sayang kan jadi jarang berantem dan kita bisa hidup tenteram tanpa perlu marah-marahan.
On a different note, kalian pernah gak
buka instagram mulan jameela dan bela shofie terus baca-bacain komen orang yang pada berantem? Hihihi seru yah? Saya usul kalian jangan jadi salah satu orang-orang yang berantem itu karena itu memalukan. Jangan juga berantem sama pasangan: kita hanya ngasih hiburan gratis bagi orang-orang yang lihat.
kayak gini nih orang lihatnya |