Thursday, March 31, 2016

Membangun Rumah Tangga Sakinah 2: Transparansi Keuangan

Seberapa transparankah kamu kepada pasanganmu menyangkut urusan duit-duitan? Saya biasa memberi laporan keuangan pada suami saya di akhir bulan hingga dua desimal terakhir. Ingat gak materi PPKn waktu SMP mengenai pentingnya transparansi ekonomi untuk pencegahan korupsi? Saya kebetulan mudeng waktu diterangin bahasan itu sama Bu Guru sehingga hal itulah yang sekarang saya coba impelementasikan dengan disiplin dalam rumah tangga saya dan S.

Sebelum menikah, kami memang sudah blak-blakan mengenai apa-apa yang kami punya juga apa-apa yang kami tidak punya. Jumlah uang S yang dia miliki sebelum dia menikahi saya itu saya tahu persis. S juga begitu, dia tahu dengan pasti berapa jumlah tabungan yang sudah saya kumpulkan sebelum saya menikahinya. Ketika kami akhirnya hidup serumah, gak ada kaget-kagetan lagi soal finansial dalam rumah tangga kami.

Karena tidak ada wacana untuk berpoligami (yang mengharuskan dua dapur mengepul di saat yang sama), maka kami sepakat bahwa seluruh pemasukan dari pintu mana pun akan kami kelola bersama. Beberapa pasangan di muka bumi ini memilih untuk menganut sistem "uang belanja untuk istri" yang konsepnya--karena satu dan lain hal--agak sulit kami mengerti, apalagi kami jalankan. Untuk apa kami saling menutup-nutupi dan menyimpan uang bagi diri sendiri jika seandainya uang itu kami tunjukan, kami toh juga gak akan menilep dari satu sama lain.

Oleh karena itu, kami menganut sistem "uang bersama untuk istri dan suami". Praktiknya, kami kumpulkan seluruh pemasukan di satu reservoir. Setelahnya, kami alirkan dana-dana tersebut berdasarkan penganggarannya, misalkan anggaran belanja dapur, bahan bakar, kosmetik, tabungan, dll. Jika suami saya butuh uang untuk beli sepatu atau saya butuh uang untuk beli sabun misalnya, uang itu siap untuk dimanfaatkan oleh siapapun dari kami. Intinya, uang S adalah uang saya, uang saya adalah uang saya S juga. Gak pake nonsense, gak pake tipu-tipu. Di akhir bulan, saya jalankan kewajiban saya untuk memastikan bahwa uang kami pergi ke tempat-tempat yang semestinya: saya akan memberi laporan keuangan menyeluruh hingga dua desimal terakhir pada S.

Kadang jika kami ceritakan ini pada orang lain, kami akan dinilai terlalu perhitungan soal duit. Saya gak ngerti di mana letak kesalahan orang perhitungan. Orang kikir itu salah, tapi kan perhitungan itu gak sama dengan kikir. Kikir itu tidak membelanjakan uang di saat uang memang harus dibelanjakan, sedangkan perhitungan itu mengelola uang secara tepat supaya bisa selalu membelanjakan uang di saat yang seharusnya. Lagipula selama hitung-hitungan kita gak mengurangi harta orang atau merugikan hak orang lain, kan gak ada masalah toh? Saya dorong diri saya sendiri untuk selalu terbuka pada S termasuk urusan duit-duitan agar kami terbiasa saling menjaga kepercayaan. Gak cantik rasanya kalo rumah tangga harus diletakkan di atas pondasi intransparansi.

Bagi yang selama ini belum dalam modus siaga, sini coba saya kasih tau kabar buruk bahwa laki-laki yang diam-diam kawin lagi tanpa izin istri legalnya biasanya suka sembunyi-sembunyi soal urusan duit. Istri gak pernah tahu pendapatan suami berapa berapa, ya jelas aja gak bakal pernah juga tau larinya kemana. Ternyata gaji sebulan cepek tiao, jatah bulanan istri jicap tiao. Sisanya? Bayar kredit sama belanjain istri muda. Ya jangan tanya saya menyimpulkan dari mana juga ya. Saya kan anaknya suka mengobservasi. "Lu orang gue belanjain segini sebulan cukup ya? Sisanya gue pegang buat jaga-jaga. Entar kalo gue butuh apa-apa di luar kan malu kalo gak ada duit." Lima tahun kemudian rumah digedor perempuan yang minta pengakuan karena anaknya gak bisa masuk TK. Kan sapi. Ya ini bukan berarti saya antipoligami sih, cuman seandainya suami saya kawin lagi sembunyi-sembunyi lalu tiba-tiba dilindas truk, kemungkinan besar yang nyetir truknya itu saya.

Selain itu, keuangan yang pengelolaannya gak transparan juga gampang morat-marit loh. "Ah, gak mungkin lah duit morat-marit hanya karena gak ngasih tau istri." Amacacih? Jaman sekarang banyak loh manusia waras tiba-tiba edan temporer karena merasa mendapat ilham yang ternyata hanya brilian bagi pikirannya sendiri. Gadai sertifikat rumah buat bikin pabrik pupuk pipis kucing, trading forex pinjem modal lintah darat, beli tanah 7 hektar di dusun jin buang anak, invest di PT anu-anuan dengan janji revenue 169% per bulan... you name it banyak banget kan keputusan-keputusan gila yang bisa saja diambil orang ketika gak ada orang waras yang diajak berdiskusi dan mengingatkan risikonya? Mending kalo bangkrut-bangkrut sendiri, kalo sampe bangkrut terus semua aset termasuk punya pasangan disita, apa gak nyaho tuh namanya?

Yang paling parah--amit-amit jabang bayi getok-getok meja 69 kali--intransparansi keuangan itu berpotensi besar bikin ribut dan retak rumah tangga. "Gak mungkin kali rumah tangga jadi korban cuman gara-gara aku bawa duit sendiri. Aku gak diem-diem kawin lagi; aku juga nggak pernah percaya investasi bodong!" Jangan terlalu yakin lah, Bang. Inget, intransparansi itu konotasinya ketidakjujuran. Sekali pasangan kita mengendus bahwa kita punya sedikit saja potensi untuk gak ngomong terus terang, mudah lo bagi dia untuk mengasosiasikan tindakan-tindakan mencurigakan kita sebagai kebohongan. Mending kalo gak jujur tapi duit belanja ngalir terus: takutnya tuh pas emang gak ada uang dan bener-bener gak bisa ngasih duit belanja, ternyata istrinya mengira suaminya bohong. Dikiranya duit abis buat judi gaple atau ngongkosin perempuan, padahal bisnisnya gulung tikar. Ujung-ujungnya digugat cerai. Walah!

Makanya yah, kami berusaha mati-matian supaya keterbukaan moneter itu selalu jadi bagian dalam rumah tangga kami. Prinsip kami: trust is earned, not given. Kami sadar bahwa rasa percaya (pada siapapun) gak bisa kita berikan begitu saja. Kepercayaan itu harus dibangun dan dipupuk setiap hari: dari gak percaya lalu jadi percaya dan makin percaya. Bohong kalo lihat kondisi dunia tambah gila kayak gini dan kita masih gak parno pasangan kita gak bakal begini begitu di belakang kita. Ih, kalo emang gak percaya sama pasangan, buat apa kalian nikah? Nggg iya juga ya, ngapain dulu aku nikah sama kamu ya? Hehe, bukan gitu keles logika kami. Pernikahan dan orang-orangnya itu tumbuh. Dalam rumah tangga, penting bagi kami untuk memastikan bahwa kejujuran dan kepercayaan turut tumbuh di dalamnya dengan cara terus mengamalkannya tiap hari. Ilmu yang gak diamalkan biasanya hilang loh. Contoh: saya dulu bisa lo nempelin jempol kaki ke muka, tapi sekarang udah gak bisa lagi soalnya gak pernah diamalkan. Oke ini bukan lawak dan emang kurang lucu but you paham kan maksud ai?

Next, terbukti dalam rumah tangga kami bahwa keterbukaan finansial telah menyelamatkan kami dari banyak krisis. Problemnya tuh gini yah, laki saya ini kalo udah pegang duit bawaannya pengen beli pakaian dan makan di luar terus. Sedangkan saya, hmm saya suka bangetbangetbanget sama skincare dan my current addiction adalah Korean skincare. Dangkal semua, iya saya juga tahu. Makanya saya lancar banget kan kalo udah mulai nulis soal antigengsi-gengsian: tulisan saya soal jangan sok gengsi itu refleksi kecenderungan diri kami sendiri hahaha. Gitu. Lanjut. Kesukaan-kesukaan kami itu sifatnya konsumtif. Konsumtif itu tidak baik bagi neraca keuangan. But, karena kami saling terbuka soal uang dan pengeluarannya, saya selalu bisa ngingetin S untuk gak sering-sering nangkring dan beli baju. Begitu pula sebaliknya, S juga akan selalu menegur saya kalo mas-mas JNE udah keseringan ngapel di depan rumah. Coba kalo kami kebiasaan ngumpet-ngumpet dan gak saling mengontrol, tinggal kenangan kali itu duit hasil susah payah.

Trus, karena kadung bawa-bawa sakinah sebagai judul yah, perlu saya tekankan bahwa transparansi keuangan telah berperan besar dalam menjaga ketenangan dan kerukunan dalam rumah tangga kami. Kami sudah melewati banyak roller coaster neraca: dari defisit, ke seimbang, ke surplus. Apa sih yang membuat semuanya mudah? Jawabannya ya jelas transparansi itu tadi. Ibaratkan aset sebagai kekuatan. Mengetahui apa saja dan seberapa banyak kekuatan berdua, kita jadi punya kendali ganda untuk merancang rencana dan memitigasi hal-hal buruk yang mungkin menghadang di depan. Konkretnya sih kalo tau ada duit, kita bisa menganggarkan tabungan yang lebih banyak. Sebaliknya, kalo pas terancam defisit ya ancang-ancang beli Indomie sekarton dulu wkwkwk. Jadinya seneng susah itu dinikmati berdua. Karena kompakan menjalani bersama, kita jadi akan lebih pengertian satu sama lain; lebih sayang gitu. Kalo udah sayang kan jadi jarang berantem dan kita bisa hidup tenteram tanpa perlu marah-marahan.

On a different note, kalian pernah gak
buka instagram mulan jameela dan bela shofie terus baca-bacain komen orang yang pada berantem? Hihihi seru yah? Saya usul kalian jangan jadi salah satu orang-orang yang berantem itu karena itu memalukan. Jangan juga berantem sama pasangan: kita hanya ngasih hiburan gratis bagi orang-orang yang lihat.

kayak gini nih orang lihatnya
Ternyata begadang lagi gara-gara nulis beginian. Prekuel tulisan ini tentang MEMBANGUN RUMAH TANGGA SAKINAH bisa juga dibaca di sini. Udahan dulu ya, jempol telunjuk udah kribo nih.

Sunday, March 27, 2016

Biaya Menikah Tanpa Resepsi

Dari beberapa entry di blog ini, saya lumayan kaget dengan banyaknya jumlah pembaca yang sudah mengunjungi pos saya tentang menikah tanpa resepsi. Sejujurnya awalnya saya GR karena merasa dikepoi, tapi lama-lama baru sadar kalo bulan-bulan ini ternyata memang lagi musim kawinan hehehe. Seperti saya dulu, mungkin banyak yang sedang menjajaki kemungkinan untuk melangsungkan pernikahan dengan hanya memenuhi rukun-rukun nikah secara agama tanpa berniat menjalani panjang dan melelahkannya prosesi adat yang lain

Pernikahan sering jadi agenda mahal memang. Dari pengamatan bertahun-tahun, saya tahu bahwa  sebuah pesta perkawinan yang dianggap lumrah untuk saat ini akan menelan biaya setara dengan harga sedan non-low cost baru sebangsa Yaris atau Vios. Jika kamu punya privilege untuk beranggapan bahwa itu bukanlah nominal yang besar, alhamdulillah dan selamat! Saya ikut bahagia karena kamu diberkahi pekerjaan yang sangat bagus. Namun jika kamu seperti kami ini yang masih pelan-pelan menabung demi hidup yang lebih baik -- tanpa bermaksud mengecilkan rasa syukur -- maka jumlah itu hmmm mayan gede juga yak hehehehe.

Terlepas dari orangtua-orangtua yang mapan dan gigih ingin membiayai, saya pun paham bahwa di usia sepantaran kita ini, keinginan untuk berdikari memang meluap-luap. No fancy wedding party, please. Yes I've been there. Tapi kita gak usah lah berasumsi tentang alasan orang yang hanya ingin menikah dengan akad saja tanpa resepsi. Selama tidak ada yang benjut dan kesambit, saya rasa perlu kita kembalikan semua keputusan untuk menjalankan apa yang dianggap cukup dan baik kepada pihak-pihak yang menjalankannya. Gak perlu terlalu kepo dan berprasangka. So, let me shed some light bagi jiwa-jiwa yang tersesat di Google dalam mencari tahu berapa biaya yang harus keluar untuk menikah tanpa resepsi hohohooo.

Baca juga
1. Tips Liburan Murah ke Bali bagian 1
2. Tips Liburan Murah ke Bali bagian 2
3. Tips Liburan Murah ke Bali bagian 3
4. Tips Liburan Murah ke Bali bagian 4
5. Tips Liburan Murah ke Bali bagian 5


Hal terpenting untuk melangsungkan pernikahan dalam Islam sebetulnya cuman calon pengantin, wali pengantin perempuan, saksi, mas kawin plus ijab. Supaya diakui negara, ya kudu dicatatkan ke KUA. Boleh aja sih gak dicatet ke KUA, cuman nanti kalo ada ada anak yang lahir, emang dikau siap lahir-batin punya anak yang akta lahirnya cuman "anak ibu" gak ada "anak bapak"nya? Nah selain yang udah disebut, sisanya mah tempelan. Perkara katering, undangan, sound system bla bla bla itu adalah ad-ons.

Disclaimer: Sesungguhnya biaya akad kami ditanggung 100% oleh orangtua saya, jadi ya mohon maaf kalo saya nggak ngasih jumlah eksaknya. Selain karena gak elok, aslinya saya juga gak inget-inget banget persisnya hehe maafkan.

Oke yuk kita mulai dari yang paling krusial, yaitu si..........

1. KUA (Rp 0-600.000) + biaya penghulu (seikhlasnya)

Pencatatan pernikahan di KUA sendiri sebetulnya gratis dengan syarat ijab kabulnya dilaksanakan di gedung KUA setempat. Kalo kita berharap penghulunya datang ke venue acara, kita wajib bayar 600ribu rupiah melalui bank yang ditunjuk. Saya pilih ijab kabul di rumah aja lah biar kayak sinetron. Konsekuensinya, selain bayar 600ribu kita kasih duit juga lah sama penghulunya. Itu semacam konvensi tidak tertulis gitu.

2. Suntik tetanus (20.000-100.000) 

Pemerintah Indonesia mewajibkan kita melaksanakan imunisasi tetanus mandiri di puskesmas/RS dan melampirkan struknya sebagai salah satu dokumen persyaratan nikah ke KUA. Berhubung saya agak apatis sama yang namanya imunisasi apapun, saya gak melakukan persyaratan bagian itu. Teknisnya gak etis kalo saya beberkan di sini, tapi saya punya struk foto thoraks sebagai persyaratan visa dari RS Mitra Kemayoran dan kalian tahulah anak jaman sekarang pada pinter Photoshop :)

3. Katering (sejutaan sampai puluhan jutaan)

Nah ini adalah bagian yang saya paling gak bisa ngasih angka pasti karena standar setiap orang pasti berbeda. Soal makanan untuk akad banyak opsinya: bisa masak sendiri, bisa pesan katering, bisa juga kombo masak sendiri + katering.

Untuk keperluan sharing saja: waktu itu ibu saya memutuskan untuk pakai katering Sonokembang 150 porsi plus beberapa menu termasuk jajanan untuk kotak-kotak yang dibawa tamu pulang yang dibeli terpisah di penyedia katering lain. Jujur yah, katering Sonokembang ini mahal dan beberapa rasa menunya gak masuk akal. Kami memutuskan untuk tetap menyewa dia karena mbak-mbak marketingnya baik, ada food testing dan yang paling penting, semua peralatan makan dan panci-panci penyajiannya disediakan oleh mereka.

4. Sound system (500.000-2000.000)
Tergantung kualitas dan ukuran sound systemnya, biaya sewanya pun bervariasi. Karena saya gak akad di gedung, waktu itu kalo gak salah sih kami cuman menyewa dua buah pengeras suara dan tetek bengeknya yang gak lebih mahal dari sejuta. Kalo venue nikahannya lebih besar, jelas biaya akan semakin mahal. Kabar baiknya, biasanya ada vendor-vendor persewaan tenda yang menggratisi biaya sound system jika kalian menyewa tenda dengan nominal tertentu.

5. Tenda dan Kursi (jutaan sampai puluhan juta)
Tenda ini juga hitungannya per meter, jadi biayanya bisa bervariasi banget. Untuk keperluan sharing aja, waktu itu kami pakai tenda biasa dari vendor Sarangan dengan ukuran space di mana tenda berdiri sekitar 3 x 15 meter dengan biaya yang gak lebih dari 7 juta rupiah. Izin curcol ya... Sebetulnya waktu itu bisa saja tendanya dimajukan 3.5 meter lagi hingga menutupi seluruh badan jalan di depan rumah orangtua saya. Implikasinya, kendaraan gak akan bisa lewat. Masalahnya adalah 6 bulan sebelumnya kami pernah dapat kesulitan besar gara-gara orang kawinan yang menutup jalan kayak gitu. Jadi waktu itu seluruh kota lagi macet banget dan suami saya keburu harus berangkat ke Bali, eh sempet aja orang nutup jalan poros demi kawinan doang. Suami saya hampir batal berangkat ke Bali akibat kejadian itu, sampe gak sadar saya jadi nyumpahin mantennya yang enggak-enggak. Okelah jadi itu pelajaran untuk kami supaya kalo nikahan gak usahlah pake acara nyetop jalan, biar gak disumpahin yang enggak-enggak sama orang yang terdholimi gara-gara perjalanannya terganggu.

6. Undangan (100.000 - 500.000)
Undangan adalah bagian dari pengeluaran nikah tanpa resepsi yang paling bisa ditekan. Bahkan jika diserahkan ke tangan profesional pun, harganya gak akan terlalu mahal (asal bukan karton mewah kayak undangan resepsi ya). Awalnya udah niat ngasih ke mas-mas percetakan aja karena estimasi biayanya pun gak terlalu gede. Tapi setelah mencermati isi undangan jaman sekarang yang pada gak koheren dan gak sesuai EYD, saya kok jadi geregetan ya? Mana isi satu undangan dan lainnya itu plek-ketiplek dan mas-mas percetakannya methentheng ae katanya gakpapa isinya kayak gitu karena gak akan ada orang yang repot-repot memperhatikan. Lah ini guweh memperhatikan! Salah berjamaah kayak gitu yang akhirnya membuat saya memutuskan untuk mengetik sendiri isi undangan akad saya, alih-alih nyontek undangan lain. Jadi ya... undangan saya akhirnya hanya berupa HVS warna yang diperbanyak di mas-mas fotokopian.

7. Seserahan dan Mahar (tidak bisa diestimasi)
Soal seserahan, saya udah pernah cerita panjang kali lebar di sini. Soal mahar saya juga pernah cerita di sini. Intinya, saya gak mau mewah-mewahan di departemen seserahan karena seserahan itu bukan rukun nikah. Jika harus membaguskan sesuatu, kami akan pilih mahar karena mahar adalah salah satu rukun nikah. Hadith mengenai wanita yang paling baik adalah wanita yang maharnya paling mudah tidak berani kami tafsirkan sebagai dispensasi memurah-murahkan mas kawin karena saat itu kondisi kami mempu untuk mengusahakan sesuatu yang lebih baik dari sekedar murah. Cuman yah, pemikiran orang itu beda-beda. Saya gak perlu meyakinkan orang agar ikut meyakini apa yang saya yakini. Jadi soal seserahan dan mahar, biarlah menjadi urusan yang berkepentingan aja yaa :)

8. Bunga dan Dekorasi (5000.000-10.000.000 tapi saya gak pake)

Kembali lagi ke tujuan menikah tanpa resepsi: menghindari sesuatu yang terlalu fancy. Entahlah kenapa saya menganggap waktu itu intuk menyewa orang buat urusan bunga dan dekorasi malah mengkhianati (@$^%&^&^%**) tujuan tersebut. Saya bersama ibu dan tante saya udah sempat nego sama pemilik vendor dekorasi yang berbasis di Sawojajar yang lumayan populer di Malang.

Ibu saya udah oke dengan harga 7 juta untuk tembok berukuran sekitar 3x4 meter tapi saya masih mikir-mikir. Kembangnya warna apa? Mau ditaro di mana? Kalo kawinannya udah kelar terus kembangnya buat apa? Iya, saya emang manten kakean pikiran. Ujung-ujungnya saya batalin sendiri deal sama vendornya and I ended up having a wedding without even a flower bouquet. 


9. Baju Pengantin (2000.000-3.000.000)

Saya suka mikirin bahwa saya akan mendesain sendiri baju pengantin saya waktu itu. Makanya, di saat dekor aja saya batalkan sepihak, khusus baju manten kudu jalan terus. Bahan bajunya saya beli di toko kain Citra di Embong Arab. For the sake of sharing, harga brokat untuk atasannya 900ribu, kain glitternya 1.2 juta, bahan tulle nya 120ribu. Saya inget persis semua harganya karena emang semua saya pilih sendiri.

Dengan waktu semepet itu, kami berhasil menemukan penjahit bagus di belakang Unisma yang ternyata dulunya bertetangga sama nenek maternal saya. Gaunnya selesai dalam 7 hari setelah beberapa revisi minor dengan biaya 700ribu rupiah. Jelas bukan gaun pengantin paling mewah dan cantik yang pernah kalian lihat, tapi saya suka sekali gaun ini soale ini bukan gaun sewaan yang suka bikin saya bergidik tiap mikirin bagian keteknya hihihi.


10. Perias Pengantin (1000.000-gak terbatas)

Soal riasan, saya juga gak terlalu picky waktu itu karena muka saya alhamdulillah gak jelek-jelek banget jadi gak banyak yang kudu ditambal hahahaha. Becanda ah. Waktu itu sejatinya udah terlalu mepet untuk ngurusi soal riasan, jadi basically saya akan terima usul siapapun yang mau nganter saya langsung ke periasnya.

Tante saya dengan baiknya nganter saya ke Bu Ida yang ternyata rumahnya cuman selemparan jumroh dari kantor ibu saya di Kelurahan Jatimulyo. Biayanya waktu itu murah aja kok, 1.5 juta Edit: sepertinya waktu itu cuman 1.25 juta setelah diinget-inget lagi . Itu termasuk baju suami untuk suami saya yang ajaibnya matching anet sama gaun pengantin saya dan melati-melatian mistis yang dipake buat ngalungin suami saya pas pertama dateng ke rumah gitu.


Fiuuuuhh panjang kali. Ya pokoknya di sekitaran itu deh ya biaya nikah tanpa resepsi: bisa kurang banyak atau bahkan lebih banyak. Intinya sih tergantung budget dan keperluan aja. Gak perlu memaksakan hanya karena khawatir dikometarin orang. Saya aja cuek bebek nungging walaupun banyak dikomentarin gara-gara kawin gak resepsian hahahaha... Bodo amet lah. Hidup mah gak usah kebanyakan gengsi daripada sok-sok nurutin gengsi ujungnya nyungsep. Anyway, selamat ya buat yang pada mau nikahan! Gak kerasa udah musim kawin lagi aja tahun ini...

Monday, March 21, 2016

I'm Back

Sungguh jika seandainya kemarin saya tidak membaca pesan seseorang melalui instagram saya, saya juga nggak mau lagi nulis di blog. Pengalaman mengajariku dengan cara yang agak kurang santun [misalnya dari celoteh teman-teman di grup chatting] bahwa orang yang agak kurang banyak bertindak di kehidupan nyata tapi banyak bicara di dunia maya biasanya berakhir jadi bahan olok-olok massal. Makanya senyampang masih belum jadi apa-apa, niat saya awalnya mau diam-diam saja hidup underground ketimbang jadi begini nih...


 
Setelah kembali ke Malang, serentetan kejadian tiba-tiba gak memungkinkan saya untuk aktif di dunia maya. Pertama, nomor IM3 saya kedaluarsa karena gak pernah diisi ulang selama saya ada di luar negeri. Padahal itu nomor kesayangan; angkanya sedikit dan mudah diingat. Matinya nomor ini memicu kesialan nomor dua, yaitu beberapa akun sosial media yang menolak dibuka karena ternyata diset dengan verifikasi nomor ponsel luar negeri saya yang barang tentu tidak aktif di Indonesia. Ketiga, hape renta saya yang sudah terseok selama 5 tahun akhirnya menemui ajal juga. [Janganlah terlalu risau, sebab benda mati pun punya ajal layaknya ajal manusia] Memang bukan secara harafiah mati dengan layar hitam, tapi memorinya sudah gak sanggup lagi menampung pembaharuan aplikasi apapun dari Google Play. Praktis, bahkan Whatsapp dan Opera pun terpaksa saya copot. Sekarang mana bisa saya berhubungan dengan dunia luar? Saya bahkan belum sempat berpamitan dengan ibu-ibu di Geraldton perihal kembalinya kami ke Indonesia dan itu bikin saya sedih.

Yang usul agar saya beli ponsel baru sudah semua saya kecewakan. Gak elok beli barang baru sementara kondisi masih begini. Hitung-hitung ini tirakat; hidup seolah primitif lagi tanpa adanya ponsel. Kalo ada yang pengen tahu gimana rasanya hidup tanpa pongsel, yuk sini Dek Tia kasih tahu bahwa rasanya persis martabak rasa matcha...

...cuman tanpa matcha; juga tanpa martabaknya.

Dan sekalian saya ungkap sedikit fakta baru bahwasanya buka instagram dari laptop itu bisa dianalogikan seperti mengayuh sepeda statis: you capek genjot but you gak akan pergi kemana-mana.

Tapi saya harus terus bikin pos. Syahdan, suatu ketika di dekat rumah nenek maternal saya, sepupu dari suami adik perempuan ibu saya [yang gak punya koneksi media sosial dengan saya dalam bentuk apapun] menyapa saya dengan "Halo Tia, sudah di Malang ya? Kapan isi lagi? Aku ngikuti blogmu lo." which makes it safe to assume that I've been drawing wrong attention from wrong target audience.

Hehehehe

Sisi baiknya adalah blog keluh kesah gak bertema ini dibaca oleh banyak sekali orang, termasuk beberapa perempuan baik yang tidak mengenal saya, namun menyempatkan waktu menyapa saya di instagram [@amaliasardjono], dan dengan baik hatinya mengabari saya bahwa mereka membaca tulisan-tulisan saya dari platform ini. Dan itu mengharukan. Knowing there are people who actually read your pieces of thought and enjoy it is mengharukan, tau nggak.

Apalagi saya juga menikmati waktu ketika saya menulis. Kadang, dalam pikiran yang liar ini, saya berpikir MUNGKIN... mungkin saya bisa membawa sedikit perubahan lewat tulisan-tulisan ini. Mungkin, suatu saat... ketika saya berhenti berkeluh kesah di sini dan menulis yang positif-positif... mungkin saya bisa membuat sesuatu yang baik dari yang sebelumnya kurang baik. Mungkin ada setitik kalimat saya yang membuat orang berubah pikiran dan dapet inspirasi. Mungkin. Namanya juga berandai-andai.

So,
pembaca-pembacaku yang budiman, baik yang sudah kuduga maupun yang tidak kuduga, yang langganan baca maupun yang one night stand, sempatkanlah buang-buang waktu barang sebentar di sini because Dek Tia is back [dengan keluhan-keluhan dan pikiran yang seringnya tidak runut] karena kaliaaan...

[sambil dadah-dadah dengan girang berasa beken] [padahal gak]