Hmm, sebagaimana banyak pos lain di blog ini, tulisan tentang mas kawin alias mahar pernikahan ini telah mengalami penyuntingan besar-besaran setelah saya sadar bahwa pembaca blog ini datang dari berbagai kalangan dan bukan hanya teman-teman facebook saya yang kebetulan ngeklik pas saya share link blog ini. Jika kalian membaca versi tereditnya, maka bergembiralah. Sesungguhnya versi aslinya sangat tidak enak dibaca dengan nada penulisan yang bisa disalahartikan sebagai congkak. Bukan gitu niatnya ketika kita ngomongin soal mas kawin kita sama orang lain, tapi ternyata kaya gitulah produk tulisan yang dihasilkan ibu rumah tangga ngaco yang udah lama gak bikin tulisan akademis (ibu rumah tangganya itu saya hehehe)
***
Sebelum memulai nulis, pertama saya perlu bikin disclaimer bahwa ini adalah pos tentang sharing, bukan pos persuasi apalagi propaganda. Yang nggak setuju monggo, yang setuju juga monggo. Bebas aja gitu tanpa ada pemalakan :-)
Yang udah lihat pos saya tentang isi seserahan pasti bisa menyimpulkan bahwa saya enggak terlalu all out soal seserahan kemarin. Barang-barang lawas aja dimasukin supaya seserahannya kliatan enak difoto. Tapi, itu semua ada alasannya kok: ini adalah alasan yang udah lama kami pikirin berdua. Bagi saya, seserahan itu kan cuman adat ya. Seserahan bukan syarat sah atau rukun nikah. Adat itu cuman kebiasaan manusia tertentu, jadi bukan ketentuan yang bersifat universal seperti agama. Walau kita nikah modal duit ceban doang, tapi kalo syarat lain terpenuhi ya tetep sah kan nikahnya.
Saya dan S untungnya sependapat soal ini. Baju, tas dan sepatu saya itu -- sebagaimana anak perempuan lain -- jumlahnya numpuk persis kayak dosa. Lagian, saya punya kecenderungan untuk gampang bosen sama sesuatu. Kalo udah bosen,
Akhirnya setelah diskusi sama S tentang mahar, kami sepakat bahwa mahar itu emang seharusnya mudah, tapi jangan juga dimurah-murahkan kalo emang mampu. Mahar ini adalah bentuk komitmen awal dalam membangun rumah tangga, bukan sekedar simbol-simbolan. Oleh karena itu, kami sepakat untuk bermahar dengan sesuatu yang memiliki nilai jual. Monggo sama yang nggak setuju sama kami tentang hal ini, tapi kami rasanya gak sreg dengan mahar seperangkat alat sholat ala sinetron Indonesia.
Tapi kami nggak anti kok sama mahar berupa alat sholat itu. Silakan bagi yang ingin menjalankannya. Pikiran kami sederhana aja sih: S ingin orangtua saya yakin bahwa anak gadisnya diminta oleh laki-laki baik yang bertanggung jawab; yang bisa menafkahi anak gadisnya dengan layak dan bukan hanya dengan simbol. Lagipula, mahar itu akan kami manfaatkan berdua. Menurut kepercayaan yang saya anut sih, mahar itu nggak haram kok untuk dimanfaatkan sama suami jika istrinya rela. Jadi, nggak ada salahnya kalo sekalian dia beri sesuatu yang bernilai baik.
Udah berbuih-buih ya ceritanya.
Long story short, S memutuskan untuk memberi mahar berupa emas untuk saya. S bilang ingin memberi saya sesuatu yang jika kami lihat beberapa puluh tahun lagi, benda itu masih akan tetap sama -- persis seperti cinta kami (apa). Lebih bagus lagi jika benda itu bisa kami wariskan ke anak-anak kami ketika suatu saat kami pergi dari dunia ini.
Jadi gini ya ceritanya, beberapa tahun lalu, S sempat berpikir untuk berinvestasi emas gara-gara kebanyakan baca artikel yang judulnya "Kenapa Anda Harus Berinvestasi Emas Sekarang Juga", "Investasi Emas Anti Inflasi" atau "Belilah Emas Sebelum Dikuasai Amerika"....
......ya artikel-artikel kayak gitu lah. Pernah kan sekilas baca? Meyakinkan banget ya isinya? Padahal juga akhir-akhir ini emas turun harga yang artinya kalo emas yang kalian beli mahal itu dijual, kalian malah akan rugi bandar ._. Investasi emas yang bener itu adalah membeli ketika harga emas rendah dan menjual ketika harga emas tinggi. Kapan ya terakhir kayak gitu? Mungkin jaman kuda gigit besi 20 tahun lalu. Anyone who's interested in investing in gold, let me tell you something: DON'T. Emas gak pernah murah dan gak pernah naik banyak sekarang. Mungkin nanti. Mungkin. Sementara masih berupa mungkin, mending buka usaha sana. Jual-jual kopi kek, beras kek, makaroni pedes kek... Hasilnya jauh lebih kliatan daripada nyimpen emas.
Emas-emas itulah yang akhirnya S berikan sebagai mas kawin sama saya. Plus cincin dan gelang yang S kasih pas dia mengkhitbah saya bulan Desember 2014. Pas tahu bahwa maharnya akan berupa emas, ibu saya sih lempeng-lempeng aja. Tapi, pas tahu besarannya, ibu saya kaget dan minta kami untuk ngurangin jumlahnya. "Nanti dikira orang, kamu matre dan mau pamer" katanya. Nope nope. Bukan matre, bukan juga pamer. Apalah untungnya kita pamer sama hal-hal seperti ini? Gak bakalan bikin kita mendadak jadi juragan batu bara kan?
Akhirnya kami jelaskan niat kami dengan bermahar seperti itu. Nabi kita yang menggalakkan hidup sederhana kan juga gak ngasih mahar istri-istrinya seperangkat alat sholat kan? Emang yang sungguh-sungguh gak mampu boleh aja ngasih cincin besi, tapi yang mampu sih gak ada salahnya kata saya untuk memberikan sesuatu yang sekalian layak dan bagus.
Kesimpulannya, duh siapalah saya ini untuk bikin kesimpulan atas sesuatu yang semua orang punya hak untuk menentukan sendiri. Cuman, kalo boleh berpendapat sih menurut saya menyederhanakan seserahan dan membaguskan mahar itu punya nilai proporsional karena yang saya sebut pertama adalah sunnah, sedangkan yang saya sebut belakangan adalah wajib. Duh maklumilah pendapat remahan rengginang yang fana ini.
tanda tangan buku nikah
|
Semoga pos tentang mahar pernikahan ini berguna ya!